Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bermalam di Desa Seonbichon

Kompas.com - 01/05/2011, 08:50 WIB

Hangat, nyaman, dan segar. Itulah kesan ketika bangun tidur di hanok, rumah tradisional Korea, di Desa Seonbichon, Yeongju, Provinsi Gyeongsang, Korea Selatan.

Meskipun udara di luar dingin berkisar 5 derajat celsius pada suatu malam pertengahan April lalu, ruangan-ruangan dalam rumah panggung dari kayu itu tetap hangat.

Selain karena ada pemanas ruangan di lantai, seluruh permukaan dinding kayu juga dilapisi kertas dinding sehingga tak ada udara yang masuk ke ruangan. Untuk tidur, tilam empuk dan selimut tebal pembungkus badan sudah tersedia.

Tidur gaya ondol. Begitu warga Korea menyebut tidur di lantai dengan tilam tebal dan selimut hangat. Tilam dan selimut yang hampir serupa bentuknya itu terlipat rapi di atas lemari kayu saat kami masuk ke ruangan. Pembatas dinding dengan gambar khas Korea berdiri di salah satu dinding. Bangku dan lemari susun berisi guci-guci kecil tertata rapi di sudut ruangan, membuat suasana tradisional menyergap. Sebuah teko berisi air dengan gelas keramik tersedia pula.

Untuk menghangatkan ruangan, masyarakat tradisional Korea menggunakan panas api kayu bakar yang ditempatkan di sebuah ceruk di bawah lantai sehingga lantai terasa hangat. Pada masa kini, meskipun di rumah tradisional, pemanasan ruangan tetap dilakukan lewat lantai, tetapi menggunakan pemanas listrik yang tingkat panasnya bisa diatur dari dalam ruangan.

”Pulang kampung”

Desa Seonbichon berada di Yeongju, Gyeongsang, tepatnya di kaki Gunung Sobaek. Desa wisata yang dibuat pemerintah tahun 2005 itu dibangun di areal seluas lebih dari 57.000 meter persegi, dengan 12 rumah tradisional yang menyebar bak sebuah desa.

”Pemerintah yang membangun desa ini. Tiap tiga tahun, pemerintah melakukan tender untuk memilih siapa yang mengelola desa,” tutur Melvin Kim, pemandu kami dari Korea Tourism Organization.

”Seonbichon adalah desa tempat lahirnya konfusianisme di Korea, tempat di mana semangat dan warisan kebudayaan para cendekiawan klasik Korea berada”, begitu tulisan di brosur wisata Desa Seonbichon. ”Tinggalkan kesibukan harian Anda dan segala produk modernitas seperti TV dan komputer untuk menyegarkan diri, tinggal di Seonbichon” tertulis dalam brosur yang lain.

Masuk ke rumah-rumah tua itu memang terasa seperti ”pulang kampung” atau menginap di rumah nenek. Suasana desa yang dingin dan sepi sangat terasa. Hanya suara angin gunung dan gesekan daun cemara serta sesekali lolongan anjing yang terdengar. Benar kata Melvin saat masih di dalam bus, ”Anda bisa meditasi di sana.”

Rumah-rumah dibangun dari kayu-kayu besar dengan pembagian ruangan yang jelas, seperti kamar depan, kamar belakang, dapur, kamar belajar, dan tempat penyimpanan bahan pangan (seperti lumbung). Kamar mandi dan toilet terpisah di sudut halaman.

Dari luar, bangunan kamar mandi tampak sangat tradisional, tetapi di dalamnya adalah sebuah kamar mandi modern berlantai ubin dan berdinding ubin, dengan pancuran air panas dan dingin siap dipakai.

Desa Seonbichon memiliki tujuh rumah beratap genteng dan lima rumah beratap rumbia yang menunjukkan kelas sosial penghuninya. Rumah rumbia dihuni petani, sedangkan rumah beratap genteng dihuni warga dengan kelas sosial lebih tinggi. Ada pula bangunan sekolah dan fasilitas desa lainnya, seperti kincir air.

Tiap rumah memiliki filosofinya masing-masing, seperti susinjega yang mengacu pada pembelajaran moral cendekiawan Korea yang terkenal disiplin pada diri sendiri, geomuguan yang berarti meninggalkan kenyamanan dan kemakmuran hidup, dan udobulibin yang berarti falsafah hidup akan kesetiaan dan hidup baik meskipun dalam kemiskinan.

Desa wisata ini juga sering digunakan sebagai lokasi pengambilan gambar untuk film-film Korea, terutama untuk film berlatar sejarah.

Ritual perkawinan

Kami dijamu makan malam ala Korea, tentu dengan mangkuk-mangkuk kecil yang memenuhi meja dan kimchi, sayuran yang diperam dalam gentong dengan berbagai bumbu tambahan. Setelah makan malam, kami diajak membakar ubi manis, bermain semacam sepak takraw tapi dengan bola dari kertas, dan berkeliling kampung membawa lentera biru.

Esoknya, selepas sarapan bubur, kami mengikuti ritual perkawinan adat Korea yang cukup ribet namun meriah. Enam anggota rombongan menjadi sukarelawan memerankan pengantin laki-laki, pengantin perempuan, dan dayang-dayangnya. Gelak tawa terus memenuhi ruangan saat perkawinan rekaan itu berlangsung karena kelucuan para pemerannya.

Setelah itu, kami mengikuti acara memasak kue tradisional Korea, in jeol mi, yang terbuat dari nasi. Nasi dipukul-pukul dengan palu besar dari kayu. Semua anggota rombongan diminta memukul. Setelah lembut, nasi digulung, dipotong-potong, dan dibaluri tepung. Rasanya seperti kue moci, hanya tidak manis.

Kami juga diajak mengunjungi Sosu Museum yang lokasinya satu kompleks dengan Desa Seonbichon. Museum ini menyimpan cerita sejarah dan peradaban Korea masa lalu. Juga satu kompleks dengan Sosuseowon, akademi Konfusian swasta pertama di Korea yang melahirkan tokoh-tokoh penting yang juga cikal bakal pendidikan Korea masa kini. Sosuseowon didirikan oleh Ju Sebung (1495-1554).

Seluruh kawasan wisata terpelihara bersih, indah, dan rapi. Tak ada coretan di dinding, bahkan tak terlihat petugas keamanan menjaga benda-benda bersejarah itu. Kebersihan dan kerapian juga terlihat sampai ke toilet umum yang jauh dari bau pesing. Hal yang jarang terjadi di Indonesia.... (Aufrida Wismi Warastri)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com