Pater Vincent, panggilannya, menetap di Sawa Erma, di Kabupaten Asmat, Papua. Sudah 30 tahun ia tinggal di Asmat. Membaur dengan warga setempat, sehari-hari ia makan sagu dan membuat ukiran kayu yang tak kalah bagus dengan karya orang Asmat, yang membuatnya diakui ”laki-laki” Asmat.
Tinggal dalam rumah amat sederhana di hamparan papan setinggi 1,25 meter, bangunan itu jauh dari rumah yang sehat. Namun, dibandingkan rumah-rumah panggung sekitarnya, rumah Vincent atau pastoran itu tergolong ”mewah”.
Ada sekat ruang tidur, ruang tamu, ”garasi” tempat dia mengukir, kamar mandi, dan dapur. Berbeda dengan tetangganya, di kamar tamu Vincent berderet buku-buku yang sebagian besar berbahasa Inggris dan Perancis. Sebagian lain berbahasa Indonesia tentang keagamaan, Asmat, Papua, dan Indonesia.
Lebih dari 15 tahun belakangan ini ia mengumpulkan lagu dan mitos Asmat. Dibantu Tobias, pria asli Asmat, ia sudah mengumpulkan lebih dari 500 lagu dan 100 mitos.
”Pater yang memberi garis besar, saya yang melakukan wawancara dan penulisan awal,” kata Tobias. Vincent pun mengakui, ”Mengumpulkan informasi tentang mitos dan lagu tak mudah. Selalu ada bagian yang tidak ingin diceritakan oleh narasumber.”
Setiap rumpun suku memiliki versi mitos masing-masing. Misalnya, mitos asal-usul sagu, makanan pokok mereka selain ikan. Walaupun tokoh mitos tetap Biwiripits, penemu pohon sagu, kisah penemuannya berbeda-beda. Ada versi Biwiripits adalah jelmaan sagu. Ada pula versi lain yang menyebutkan Biwiripits adalah penemu sagu.
Lagu dan mitos itu rencananya dibukukan. Menurut Uskup Agats Mgr Aloys Murwito OFM, bahan itu akan dijadikan muatan lokal bagi sekolah yang diasuh Yayasan Yan Smit, Agats. Bagi Vincent, mitos-mitos itu adalah bagian dari obsesi kedalaman hati dan perhatiannya pada Asmat.