Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inkulturasi dan Mitos Asmat

Kompas.com - 11/05/2011, 04:12 WIB

OLEH ST SULARTO

Melebur diri dalam budaya setempat, menyelami kebiasaan, jalan pikiran, dan keseharian suku Asmat, itu yang dilakukan Pastor Vincent Cole MM. Tahun 1995 ia pernah menembus Agats hingga Wamena selama tiga minggu dengan berjalan kaki. 

Pater Vincent, panggilannya, menetap di Sawa Erma, di Kabupaten Asmat, Papua. Sudah 30 tahun ia tinggal di Asmat. Membaur dengan warga setempat, sehari-hari ia makan sagu dan membuat ukiran kayu yang tak kalah bagus dengan karya orang Asmat, yang membuatnya diakui ”laki-laki” Asmat.

Tinggal dalam rumah amat sederhana di hamparan papan setinggi 1,25 meter, bangunan itu jauh dari rumah yang sehat. Namun, dibandingkan rumah-rumah panggung sekitarnya, rumah Vincent atau pastoran itu tergolong ”mewah”.

Ada sekat ruang tidur, ruang tamu, ”garasi” tempat dia mengukir, kamar mandi, dan dapur. Berbeda dengan tetangganya, di kamar tamu Vincent berderet buku-buku yang sebagian besar berbahasa Inggris dan Perancis. Sebagian lain berbahasa Indonesia tentang keagamaan, Asmat, Papua, dan Indonesia.

Lebih dari 15 tahun belakangan ini ia mengumpulkan lagu dan mitos Asmat. Dibantu Tobias, pria asli Asmat, ia sudah mengumpulkan lebih dari 500 lagu dan 100 mitos.

”Pater yang memberi garis besar, saya yang melakukan wawancara dan penulisan awal,” kata Tobias. Vincent pun mengakui, ”Mengumpulkan informasi tentang mitos dan lagu tak mudah. Selalu ada bagian yang tidak ingin diceritakan oleh narasumber.”

Setiap rumpun suku memiliki versi mitos masing-masing. Misalnya, mitos asal-usul sagu, makanan pokok mereka selain ikan. Walaupun tokoh mitos tetap Biwiripits, penemu pohon sagu, kisah penemuannya berbeda-beda. Ada versi Biwiripits adalah jelmaan sagu. Ada pula versi lain yang menyebutkan Biwiripits adalah penemu sagu.

Lagu dan mitos itu rencananya dibukukan. Menurut Uskup Agats Mgr Aloys Murwito OFM, bahan itu akan dijadikan muatan lokal bagi sekolah yang diasuh Yayasan Yan Smit, Agats. Bagi Vincent, mitos-mitos itu adalah bagian dari obsesi kedalaman hati dan perhatiannya pada Asmat.

Akrab dan menghormati

Siang itu lingkungan gereja Desa Sawa Erma, seberang kota Distrik Sawa Erma yang dipisahkan Sungai Pomatsj, amat panas. Anak-anak berlarian. Sebagian lainnya mandi di pinggir sungai, di selokan bercampur lumpur yang menjadi cabang Sungai Pomatsj. Di sini pastor Paroki Kristus Amore itu tinggal bersama umat gembalaannya.

Tingkah anak-anak dan sikap orangtua setempat terasa akrab dan saling menghormati. Anak-anak bertelanjang berkejaran kian kemari membuat papan-papan kayu hitam itu berderak-derak.

Mgr Aloys Murwito yang baru datang diserbu anak-anak. Ditemani Vincent, anak-anak dan orangtua berebut bersalaman dan minta difoto.

Sosok Vincent menonjol. Tak hanya karena postur tubuhnya yang besar, warna kulitnya pun tak menjadi lebih gelap meski ia telah lama di Papua.

Walau sehari-hari bergaul dengan warga, dia tetap antusias setiap kali ada anak yang ingin bersalaman atau menyapanya. Dengan santai ia bermain dan tertawa bersama anak-anak.

Penuh simbol

Selain gigih mengumpulkan mitos dan asal-usul Asmat, Vincent juga mengerjakan dan melanjutkan apa yang dirintis uskup pertama Keuskupan Agats, Mgr A Sowada OSC. Nama Sowada dikenang sebagai perintis yang mengangkat budaya Asmat.

Kemudian Vincent yang merealisasikannya, antara lain lewat inkulturasi budaya Asmat dengan arsitektur gereja di Sawa Erma. Ia membawa budaya Asmat dalam liturgi dan bangunan gereja Asmat, Kristus Amore. Budaya Asmat yang penuh simbol-simbol dipadukannya dengan cara keberagamaan Katolik yang juga banyak memiliki simbol.

Ia mewujudkan simbol-simbol yang dimiliki Asmat dengan simbol-simbol keagamaan Katolik, misalnya dalam bentuk dan interior gereja. Sekilas apa yang dilakukannya seakan keluar dari ”pakem” gereja Katolik. Akan tetapi, kehadiran Nunctius (Duta) Vatikan Mgr Leopoldo Girelli, November lalu, menandai persetujuan Takhta Suci Vatikan atas inkulturasi yang dia lakukan.

Dibangun berbentuk rumah adat Asmat, jew, gereja ini unik. Dengan luas 72 meter persegi, bangunan itu berbentuk memanjang. Ruangannya dibiarkan kosong. Pada sisi kanan dan kiri bangunan itu terdapat 18 tungku. Ini simbol 18 rumpun dalam suku Asmat yang ada dalam parokinya. Panti imamnya berlatar ornamen simbol perpaduan keagamaan dan budaya setempat. Keberadaan salib besar di atas kayu menyilang utuh yang menempel pada dinding kayu, terasa khas.

Sosok tubuh tersalib simbol Yesus itu terlihat kurus, menggantung di tengah. Sosok itu tak simetris dengan besarnya salib. Kedua tangannya terjuntai menggantung, kepalanya menyamping, menempel pada palang salib yang besar. Anyaman duri tak melekat erat di kepalanya, tetapi berada beberapa sentimeter di atas kepala. Di ujung kanan palang tergantung kantung dari anyaman daun sagu, dan di ujung kirinya terdapat ikat kepala. Tombak memanjang yang tertancap di bawah kaki menyilang, menguatkan pengaruh budaya Asmat.

Tubuh yang tersalib itu tak proporsional. Kepala, tangan, dan kakinya tak simetris. Tubuh itu telanjang, melambangkan makna eros sebagai kebersatuan manusia dan penciptanya.

Dengan fasih Vincent menjelaskan inkulturasi budaya Asmat dengan keimanan Katolik. Delapan belas tungku di gereja itu juga diadopsi dari budaya Asmat. Tungku yang berderet-deret dinyalakan dengan kayu setiap misa berlangsung. Ini menggambarkan, tungku dan misa adalah sumber kehidupan. Tiang-tiang gereja juga diukir warga setempat.

”Saya senang, dan bertekad terus mengembangkan inkulturasi ini,” kata Vincent, yang sehari-hari mengonsumsi sagu dengan lauk apa adanya. Sama seperti umumnya warga setempat, ke mana pun pergi dia berjalan kaki. Meski pada waktu-waktu tertentu dia juga terpaksa menggunakan speedboat.

Selain membangun gereja inkulturasi, Vincent juga menyusun teks misa kudus dalam bahasa Asmat. Misa yang diberikan dalam bahasa yang dipahami warga Asmat membuat mereka bisa menghayati kata-kata yang disampaikan. Tercatat sebagai pastor Kongregasi Maryknoll (MM) satu-satunya di Indonesia, Vincent adalah pastor paroki Kristus Amore sekaligus Vikaris Jenderal Keuskupan Agats.

Lulus sarjana filsafat-teologi di Michigan, sehabis ditahbiskan sebagai pastor tahun 1971, ia belajar Islamologi di Pakistan. Vincent tiba di Asmat tahun 1979. Sejak itu dia menetap dan semakin jatuh cinta pada Asmat. (RWN)

Pastor Vincent Cole MM

• Lahir: Detroit, Michigan, Amerika Serikat, 19 Januari 1945

• Riwayat hidup: - Ditahbiskan sebagai pastor, 1971 - Tiba di Asmat, 1979 - Pastor Paroki Kristus Amore dan Vikaris Jenderal Keuskupan Agats

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com