Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kembalinya Keindahan TENUN MINAHASA

Kompas.com - 03/07/2011, 04:35 WIB

Yulia Sapthiani

Tenun Minahasa sempat hilang karena masuknya budaya Eropa dan budaya daerah lain di Nusantara. Tenun Minahasa kembali dan tampil cantik di panggung mode ”The Enchanting Culture of Minahasa” di Djakarta Theater, Kamis (30/6) malam. 

Sentuhan tangan perancang Thomas Sigar, dalam kerja samanya dengan Yayasan Institut Seni Budaya Sulawesi Utara, membuat tenun Minahasa hidup kembali secara perlahan. Dalam ”The Enchanting Culture of Minahasa”, Thomas menampilkan busana dalam gaya etnik modern dari tenun sutra bermotif patola, serta penggabungan dengan motif lain yang diperkenalkan dua tahun lalu, yaitu pinawetangan, pinatembega, dan pinatikan.

Patola, seperti dijelaskan dalam buku Textiles of Southeast Asia Tradition, Trade, Transformation (Robyn J Maxwell, 2003), adalah kain tenun yang berasal dari wilayah barat laut India yang berbahan sutra. Kain ini kemudian menyebar ke berbagai negara melalui perdagangan, termasuk ke berbagai wilayah di Indonesia, salah satunya ke Minahasa, pada awal abad ke-19.

Motifnya berbentuk geometris menyerupai sirip ular sawah yang dalam istilah Minahasa disebut juga patola. Sebagai binatang yang disakralkan karena dianggap sebagai dewa penjaga padi, kain patola pun disakralkan, terutama pada masa pra-Kristiani.

Selain motif, buku tersebut juga menjelaskan bahwa budaya India berpengaruh pada pemakaian. Kain-kain dari India dipakai untuk berbagai acara, seperti pernikahan, pemakaman, dan kelahiran.

Motif lain, yaitu pinawetengan, pinatembega, dan pinabia telah terlebih dulu diperkenalkan Thomas pada peragaan busana dua tahun lalu, juga di Jakarta, yang bertema ”Lost Treasure of Minahasa”. Pinawetengan adalah kain yang motifnya berupa gambar manusia yang diambil dari guratan-guratan di atas batu yang dikeramatkan masyarakat Minahasa.

Untuk berperang

Pinatembega adalah tenun yang bermotifkan perhiasan tembaga yang dulunya dipakai pria suku Minahasa saat akan berperang. Adapun pinabia adalah kain yang motifnya berupa kerang-kerangan, sebagai simbol kekayaan laut Minahasa.

Melalui desain yang dibuat Thomas, kain-kain bermotifkan patola, pinawetengan, pinatembega, dan pinabia tersebut ditampilkan dalam peragaan yang dibagi ke dalam dua subtema, yaitu A Touch of Gujarat dan The Power of Patola Minahasa.

Nuansa Minahasa disuguhkan kepada penonton dengan alunan alat musik kolintang yang dimainkan grup Kawanua, serta tari-tarian yang menggambarkan bersemangatnya muda-mudi Minahasa hingga yang bernuansa ritual.

Dalam A Touch of Gujarat, sebanyak 12 set busana wanita dan pria didesain dari sutra Thailand dan sutra sifon yang berkesan ringan, bermotif geometris yang berulang. Gaya India sangat terasa melalui tunik yang dipadukan dengan celana panjang, ditambah syal bagi pria.

Gaya lebih beragam terlihat pada bagian kedua peragaan yang menggabungkan motif sisik ular dengan pinawetengan, pinatembaga, dan pinabia. Pilihan gaya disediakan mulai dari jaket bermotif dengan rok pendek polos yang cocok digunakan untuk bekerja, kebaya polos dengan bawahan berupa kain bermotif pinatembega, atau gaun cocktail satu pundak. 

Promosi

Apa yang dilakukan Thomas dan YISB Sulawesi Utara ini merupakan upaya untuk menghidupkan kembali tenun Minahasa yang sudah menghilang sekitar 200 tahun karena kentalnya pengaruh budaya luar yang dibawa penjajah, terutama Belanda. Minimnya pendokumentasian informasi tenun ini membuat Thomas harus mengandalkan buku dan foto yang memperlihatkan penggunaan tenun dalam kegiatan tarian ritual.

Informasi sangat terbatas. Tidak ada data tentang lokasi tempat tenun dibuat, siapa pemakai, dan bagaimana cara memakainya. ”Contoh kainnya pun yang saya tahu hanya ada selembar di Museum Nasional dan beberapa di Belanda,” tutur Thomas, yang pernah mengolah kain tradisional daerah lain, seperti Aceh, Cirebon, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur ini.

Sementara itu, Ketua YISB Sulawesi Utara Benny J Mamoto menjelaskan alasan di balik pemilihan Jakarta sebagai tempat untuk memperkenalkan tenun Minahasa. ”Jakarta adalah kota yang gaya hidupnya dijadikan acuan orang dari daerah lain. Dengan memperkenalkan tenun Minahasa di Jakarta, saya berharap orang asli Minahasa turut memakai dan bangga atas kekayaan budaya mereka,” kata Benny.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com