Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Kincir Angin hingga Kanal Amsterdam

Kompas.com - 03/07/2011, 05:54 WIB

KOMPAS.com - Waktu menunjukkan pukul 09.00 pagi, ketika pesawat Garuda Indonesia yang kami tumpangi mendarat di Schiphol International Airport, Amsterdam, Jumat (24/6/11). Setelah melalui proses imigrasi dan pengambilan bagasi di salah satu bandara terbaik di dunia itu, kami, yang tergabung dalam tur Yamaha MotoGP Assen tersebut, langsung menuju parkiran bus yang sudah disediakan.

Suhu udara saat itu dilaporkan mencapai 11 derajat celcius. Memang tak terlalu dingin, tetapi bagi saya, yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Belanda, suhu tersebut sudah cukup menyiksa. Apalagi, hujan ikut kedatangan kami, membuat badan ini serasa membeku ketika butiran-butiran air menyapu kulit.

Beruntung, saat memasuki bus, rasa dingin tersebut langsung hilang dan berubah menjadi hangat. Kondisi itu membuat saya merasa sangat nyaman, sehingga kantuk dan capek yang sempat mendera akibat kesulitan tidur dalam perjalanan selama kurang-lebih sembilan jam dari Indonesia-Dubai-Amsterdam, hilang seketika. Saya langsung terpana melihat suasana Amsterdam (dan Belanda pada umumnya), yang bebas, tetapi tertib dan sangat menghargai sejarah.

Ya, karena kebebasan tersebut maka kita dengan gampang melihat orang saling berciuman mesra, mengisap ganja, ataupun melakukan hubungan sesama jenis di tempat umum. Tetapi di sisi lain, Belanda sangat tertib dan patuh berlalulintas, sehingga setiap pengguna jalan bisa menikmati hak mereka, mulai dari pesepeda dan motor berkapasitas kecil, pengguna trem, dan mobil (umum maupun pribadi).

Yang membuat saya tertegun, nyaris tak ada bangunan modern di negera dengan luas 41,526 kilometer per segi itu. Ternyata, mereka sangat menghargai sejarah, sehingga bangunan-bangunan tua tetap terpelihara dan terawat. Maka, tak mengherankan jika bangunannya nyaris seragam.

Dari Bandara Schiphol, kami langsung menuju ke Volendam. Sejatinya, perjalanan dari Amsterdam ke desa nelayan/petani tersebut tak memakan waktu lama, karena bisa ditempuh selama sekitar 45 menit. Tetapi sebelum melihat salah satu desa yang pernah menjadi korban banjir terbesar di Laut Utara pada 1953 tersebut, kami lebih dulu singgah di Irene Hoeve Cheese and Clogs, yaitu tempat pembuatan keju dan sepatu kayu (klompen).

Belanda sudah identik dengan keju, yang terbuat dari susu murni sapi fris (sapi putih-hitam) plus enzim khusus. Keju tersebut sampai sekarang masih menjadi salah satu hasil khas mereka.

Lalu, bagaimana dengan clogs atau klompen, yang terbuat dari kayu poplar? Dulu, sepatu tersebut biasa digunakan oleh penduduk Belanda untuk bekerja di ladang. Tetapi sekarang, fungsinya sudah bergeser yaitu hanya sebagai cinderamata alias souvenir--meskipun masih ada sejumlah kalangan yang memakainya saat bekerja di ladang. Karena itu, di dalam Irene Hoeve itu terdapat deretan klompen dengan berbagai ukuran, desain, dan warna, yang dipajang untuk dijual.

Steven, pria yang ahli membuat klompen karena meneruskan usaha keluarga, mengatakan bahwa dalam sehari dia bisa menghasilkan beberapa model. Pisau potong yang sederhana tetapi praktis plus alat cungkil yang memadai, membuat dia dengan cekatan menghasilkan satu klompen.

"Dulu, untuk membuat satu klompen bisa membutuhkan waktu lima jam. Tetapi sekarang, dengan mesin ini, satu klompen bisa diselesaikan dalam waktu satu jam," ujar Steven, sambil menunjukkan kepiawaiannya. Dengan pisau potong, dia lebih dulu memahat bagian luar model klompen yang diinginkan, sebelum mencungkil bagian tengah untuk membuat bagian dalamnya.

Dari Irene Hoeve, kami meneruskan perjalanan menuju Volendam. Tetapi sebelum sampai ke sana, kami sempat melewati Windmolen alias kincir angin raksasa, yang merupakan ikon Belanda. Kesempatan tersebut tak kami sia-siakan untuk berpose dan mengambil gambarnya. Tujuan utama kincir angin di Belanda ini adalah untuk memompa dan mendorong air ke lautan, agar terbentuk daratan baru yang lebih luas, yang namanya Polder. Tapi kini, kincir angin tersebut sudah menjadi salah satu ikon dan obyek wisata.

Hanya beberapa saat melihat Windmolen, kami melanjutkan perjalanan ke Volendam, yang merupakan desa nelayan. Awalnya, mata pencaharian penduduk Volendam adalah nelayan karena letaknya persis di bibir pantai. Tetapi setelah terjadi banjir besar pada 1953, dilakukan upaya pencegahan dengan membangun bendungan sehingga amukan air laut tak sampai ke daratan lagi. Ternyata, ada konsekuensi dari usaha tersebut karena justru ikan-ikan menjadi jauh berkurang, sehingga mata pencaharian penduduk Volendam bergeser dari nelayan menjadi penjual jasa dan souvenir.

Ya, Volendam berubah menjadi salah satu kawasan wisata. Hampir setiap hari, ada turis yang datang dari berbagai negara, termasuk kami dari Indonesia, untuk menikmati desa yang kecil tersebut. Sebelum sampai ke "jantung" desa, kami harus menyusuri pinggir pantai yang sudah dibendung. Jalan raya sebagai akses utama hanya cukup untuk satu bus, sehingga diberlakukan sistem buka-tutup.

Namun bagi para pejalan kaki dan pengguna sepeda, mereka justru diberikan akses yang terbilang lebih asyik dan romantis, karena bisa menikmati indahnya laut dari ketinggian. Pasalnya, bendungan tersebut juga berfungsi sebagai jalan bagi mereka. Sepanjang jalur di atas bendungan itu dilengkapi dengan kursi-kursi santai, sehingga tampak ada pasangan ataupun keluarga kecil, yang terlihat duduk santai sambil memandang laut.

Ketika memasuki kawasan wisata, suasana ramai langsung terlihat. Di sisi kiri-kanan jalan terdapat banyak toko yang menjual souvenir, begitu juga dengan kafe, restoran dan toko yang menjajakan kue khas Belanda, Poffertjes. Sementara itu di dermaga kecil, berjejer kapal-kapal yang bisa disewa oleh wisatawan berkantong tebal, untuk menikmati keindahan laut. Tak cuma itu, para wisatawan juga bisa berfoto dengan pakaian tradisional khas nelayan Belanda.

Menyusuri kanal-kanal di Amsterdam

Berada sekitar dua jam di Volendam, kami kembali ke Amsterdam, untuk melakukan wisata air. Inilah momen yang paling menyenangkan, karena kami bisa menikmati keindahan kota tua dengan menggunakan kapal kecil Canal Cruise, untuk menyusuri kanal-kanal yang airnya bersih karena bebas dari sampah.

Memang, tak semua kanal yang bisa kami nikmati hanya dalam waktu satu jam. Meskipun demikian, apa yang terlihat sepanjang penyusuran tersebut menunjukkan bagaimana Belanda menghargai dan melestarikan sejarah. Rumah-rumah tua dirawat dengan sangat baik, sehingga ada bangunan yang dari tahun 1616 masih berdiri kokoh. Fakta itu terlihat dari angka yang tertera di depan rumah tersebut, sehingga kita dengan cukup mudah mengetahui usia sebuah bangunan.

Sepanjang perjalanan mengarungi kanal-kanal itu, kami menerobos jembatan-jembatan tua yang cantik, melihat kapal yang dibuat mirip dengan kapal-kapal VOC yang pada zamannya hilir-mudik di perairan Indonesia--seperti yang terlihat di film sejarah Indonesia. Deretan rumah pun menghadirkan sebuah harmoni, yang menceritakan bahwa Belanda tak pernah menyia-nyiakan masa lampau.

Orang-orang di daratan pun dengan ramah melemparkan senyuman kepada para wisatawan yang berada di atas kapal. Ada yang melambaikan tangan, dan ada pula yang berteriak sekadar say hello. Melihat kenyataan ini, saya mencoba membayangkan bagaimana ketika tim nasional Belanda diarak mengelilingi kanal-kanal Amsterdam saat mereka hanya menjadi runner-up Piala Dunia 2010 lalu. Sudah pasti, "der Oranje" mendapat sambutan sangat meriah dari suporter fanatiknya yang berdiri di sepanjang kanal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

8 Penginapan di Ciwidey dengan Kolam Air Panas, Cocok untuk Relaksasi

8 Penginapan di Ciwidey dengan Kolam Air Panas, Cocok untuk Relaksasi

Hotel Story
Capaian Timnas U-23 di Piala Asia Bawa Dampak Pariwisata untuk Indonesia

Capaian Timnas U-23 di Piala Asia Bawa Dampak Pariwisata untuk Indonesia

Travel Update
Harga Tiket Masuk Taman Safari Prigen 2024 dan Cara Pesan via Online

Harga Tiket Masuk Taman Safari Prigen 2024 dan Cara Pesan via Online

Travel Tips
3 Promo BCA Australia Travel Fair 2024, Ada Cashback hingga Rp 2 Juta

3 Promo BCA Australia Travel Fair 2024, Ada Cashback hingga Rp 2 Juta

Travel Update
4 Promo Tiket Pesawat dan Tur BCA Australia Travel Fair, Rp 7 Juta ke Perth PP

4 Promo Tiket Pesawat dan Tur BCA Australia Travel Fair, Rp 7 Juta ke Perth PP

Travel Update
Hari Ini, BCA Australia Travel Fair 2024 Digelar di Gandaria City

Hari Ini, BCA Australia Travel Fair 2024 Digelar di Gandaria City

Travel Update
10 Tips Wisata Saat Cuaca Panas, Pakai Tabir Surya dan Bawa Topi

10 Tips Wisata Saat Cuaca Panas, Pakai Tabir Surya dan Bawa Topi

Travel Tips
5 Wisata di Palangka Raya, Ada Wisata Petik Buah

5 Wisata di Palangka Raya, Ada Wisata Petik Buah

Jalan Jalan
5 Tips ke Museum iMuseum IMERI FKUI di Jakarta, Reservasi Dulu

5 Tips ke Museum iMuseum IMERI FKUI di Jakarta, Reservasi Dulu

Travel Tips
Cara Menuju ke Bukit Tangkiling Kalimantan Tengah

Cara Menuju ke Bukit Tangkiling Kalimantan Tengah

Jalan Jalan
Bukit Tangkiling Palangka Raya untuk Pencinta Alam dan Petualangan

Bukit Tangkiling Palangka Raya untuk Pencinta Alam dan Petualangan

Jalan Jalan
Rute Menuju ke Jungwok Blue Ocean Gunungkidul, Yogyakarta

Rute Menuju ke Jungwok Blue Ocean Gunungkidul, Yogyakarta

Jalan Jalan
Segara Kerthi Diperkenalkan ke Delegasi World Water Forum di Bali, Apa Itu?

Segara Kerthi Diperkenalkan ke Delegasi World Water Forum di Bali, Apa Itu?

Travel Update
Sederet Aktivitas Seru di Jungwok Blue Ocean, Tak Hanya Bisa Foto

Sederet Aktivitas Seru di Jungwok Blue Ocean, Tak Hanya Bisa Foto

Jalan Jalan
Kering sejak Maret 2024, Waduk Rajui Jadi Spot Instagramable di Aceh

Kering sejak Maret 2024, Waduk Rajui Jadi Spot Instagramable di Aceh

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com