KOMPAS.com - Ruminah (35) tampak asyik memutar dan menekan-nekan tangannya ke sebongkah tanah liat besar berbentuk gentong yang baru setengah jadi di depan rumahnya. Ia tampak larut dalam pekerjaannya itu meski sang anak yang masih berusia sekitar lima tahun bermain dan berlari-larian di dekatnya.
Konsenstrasinya tidak pecah, ia tetap asyik membuat gentong yang dipesan seorang wisman. Tanpa menggunakan meteran, Ruminah dengan santainya mampu membentuk sebuah gentong dengan diameter yang sempurna dan simetris.
Apa rahasianya? "Meteran? Ha-ha-ha... di sini nggak pernah pakai. Perasaan saja karena sudah terbiasa dari kecil," ucap Ruminah sambil tergelak.
Ruminah merupakan salah seorang wanita yang menjadi perajin gerabah di Desa Banyumulek, Lombok Barat (sekitar 14 km dari Mataram), Nusa Tenggara Barat. Ada lebih dari 400 warga Sasak di desa ini yang merupakan perajin gerabah. Hal itulah yang kemudian membuat nama Banyumulek yang dalam bahasa setempat berarti air jernih ini menjadi tersohor dan akhirnya dijadikan sentra pembuatan gerabah di Lombok.
Para wanitanya sejak umur 4 atau 5 tahun memang sudah diajari membuat gerabah kecil-kecilan seperti asbak. Sementara para lelaki bertugas mencari tanah liat yang langsung didapat dari tanah desa ini dan jika gerabah sudah jadi, para lelaki inilah yang mengantarkannya ke art shop atau pun ke pembeli borongan yang biasanya dari warga asing.
Ruminah mengaku tidak tahu asal mula warga di desa Banyumulek ini mulai membuat gerabah. Menurutnya, kerajinan membuat gerabah sudah ditanamkan sejak kecil dan menjadi harta warisan berharga dari leluhurnya. "Kalau orang-orang di luar mungkin warisannya emas atau apa. Tapi kami di sini, warisan dari keluarga yah tanah liat yang didapat dari desa ini dan keterampilan membuat gerabah," ucapnya.
Ia mengungkapkan bahwa dengan kerajinan membuat gerabah ini pula para gadis di Desa Banyumulek mendapatkan jodohnya. Semakin baik kemampuannya membuat gerabah, para lelaki di desa ini pun menjadi semakin tertarik untuk mengawini si gadis. Alhasil, pernikahan yang terjadi di Banyumulek biasanya tak jauh-jauh dari tetangga sekampung. "Jadi kalau jadi perempuan di sini, harus pintar-pintar membuat gerabah, nanti pasti ada yang tertarik," ujarnya.
Dalam sehari, wanita Banyumulek bisa membuat 10 gentong berukuran sedang. Selain gentong, para wanita Banyumulek juga mampu membuat gerabah lain seperti anglo, wajan, periuk, dan kendai. Yang khas dari desa ini adalah proses pembuatannya yang masih tradisional tanpa bantuan mesin.
Bahan pembuatnya masih berasal dari tanah liat yang didapat langsung di desa itu. Setelah tanah liat diambil, tanah itu kemudian dikeringkan lalu diinjak-injak agar halus. Kemudian, tanah itu dicampurkan lagi dengan pasir agar kehalusannya semakin sempurna dan kembali diinjak-injak. Jika sudah dianggap cukup halus, tanah liat itu kemudian bisa dipakai sebagai bahan dasar pembuat gerabah.
Dalam membuat gerabah, para wanita Banyumulek hanya mengandalkan tangan, sebuah sikat, talenan, amplas, dan seember air untuk meratakan permukaan tanah liat. Dari alat-alat itu, mereka mampu membuat gentong dengan diameter 15 centimeter yang tingginya bisa mencapai 1 meter. Usai gerabah terbentuk dan telah dihaluskan dengan amplas, tahapan selanjutnya yakni pembakaran.