Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kapel di Antara Tiga Gunung Berapi

Kompas.com - 17/09/2011, 15:45 WIB

KOMPAS.com - Pernahkah terbayangkan rasanya mengunjungi sebuah kapel yang terletak di antara tiga gunung berapi yang masih aktif? Kapel Bunda Maria atau Chapel of Mother Mary terletak di Kota Tomohon, sekitar 45 menit dari Kota Manado.

Lokasinya yang berada tepat di lereng Gunung Mahawu dan tidak seberapa jauh dari Gunung Lokon dan Soputan yang belum lama ini meletus. Hal ini memberikan sensasi adventure tersendiri untuk mengunjungi kapel tersebut.

Luas kapel ini tidaklah seberapa, namun sarat nuansa religi. Di depan deretan bangku jemaat, panorama Gunung Lokon terpampang jelas melalui jendela kaca transparan. Patung Yesus yang menjadi center point ruangan terlihat melengkapi bagian atas jendela kaca raksasa. Keunikannya menjadikan kapel ini mahsyur sebagai lokasi pernikahan dan pemotretan pre-wedding, sehingga kemudian dijuluki sebagai Wedding Chapel.

Wedding Chapel sejatinya adalah salah satu fasilitas yang dimiliki Bukit Doa, sebuah kawasan wisata ziarah umat Katolik. Semenjak resmi dibuka untuk umum lima tahun silam, tempat ini telah mencuri perhatian banyak pihak. Tidak semata karena nilai spiritualnya tetapi juga karena pemandangannya yang mengundang decak kagum.

Bahkan status "siaga" atas Gunung Lokon dan "waspada" atas Gunung Soputan yang ditetapkan Pemerintah Daerah pun tidak mampu menyurutkan animo pengunjung, termasuk kami. Kami kembali bertandang setelah gagal mencapai puncak bukit dua tahun lalu.

Kali ini saya bertekad untuk hiking. Rute Ring Road yang menjadi pilihan kami saat bertolak dari Manado tak lain berupa jalan melingkar tempat salah satu Patung Yesus tertinggi di dunia, replika Big Ben dan Water Park andalan Kota Manado berada.

Memasuki dataran tinggi Tomohon, hawa panas Manado mulai berganti sejuknya hawa pegunungan. Teluk Manado terlihat berkilau dari ketinggian, suatu pesona yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Rumah penduduk berderet rapi di pinggang dan punggung bukit, baik yang modern maupun rumah panggung tradisional.

Di beberapa tempat terlihat deretan warung yang menjajakan hasil kerajinan tangan penduduk setempat. Restoran khas Minahasa tak kalah menjamur, surga bagi penikmat kuliner. Jika ingin berhenti sebaiknya memilih beberapa area view point atau restoran. Sebab, medan yang sempit dan berkelok tidak memungkinkan untuk berhenti di sembarang tempat.

Mobil melaju mulus hingga memasuki kawasan wisata Bukit Doa. Hari ini tidak ada antrian panjang seperti yang kami bayangkan. Hanya dengan membayar sebesar Rp 20.000, kami bertiga termasuk mobil sudah dapat menikmati keindahan kawasan ini sepuasnya.

Posisi Bukit Doa yang berada pada ketinggian 820-1021 meter di atas permukaan laut membuat perjalanan menuju area parkir cukup menantang. Di kanan kiri tanjakan terlihat rimbunnya hutan alami menyelimuti kawasan seluas 39 hektar ini. Aroma rerumputan segar dan sejuknya angin semilir menyapa ramah, membangkitkan energi positif dalam diri.

Bukit Doa melebihi fungsi utamanya sebagai obyek wisata ziarah. Konsep konservasi alam yang menjadi dasar dibangunnya kawasan ini telah melahirkan Kebun Raya Tomohon, sebuah kebun raya milik swasta pertama di Indonesia. Tak heran beragam tetumbuhan khususnya yang berasal dari Sulawesi lazim dijumpai di sini. Bahkan, termasuk beberapa jenis tumbuhan yang langka.

Sejauh mata memandang terlihat beraneka warna hijau, mulai dari hijau gelap pegunungan, hijau tua dedaunan, dan hijau muda pucuk daun serta rerumputan. Aneka bunga mekar menjadi aksen tersendiri di atas permainya ranah bergelombang.

Kami melangkah menuju Wedding Chapel, melewati pagar besi dengan petunjuk arah di depannya. Dari belakang kapel yang menjadi lokasi berfoto favorit pengunjung, keelokan Lokon semakin menggoda ditingkahi kepulan asap putih dari kawahnya.

Soputan dan perbukitan Kinilow-Tinoor mengintip dari balik awan. Pantai Amurang terlihat di sebelah Barat puncak bukit dan Gunung Manado Tua di utara. Langit tersenyum cerah memamerkan koloni awan putih yang memayungi kota. Begitu biru nan bersih.

Di sekeliling terlihat pengunjung yang sibuk bercengkrama, mengambil gambar, piknik di atas rerumputan, atau sekedar duduk santai sambil membaca buku di bangku taman. Salah satu titik yang banyak diminati adalah Amphitheater Mahawu yang berbentuk setengah lingkaran.

Desainnya mengingatkan kami pada amphitheater jaman Romawi Kuno. Rimbunnya pepohonan dan semak bunga memayungi sebagian deretan tangga yang berfungsi sebagai tempat duduk.

Amphitheater ini dirancang sedemikian rupa hingga tidak diperlukan mikrofon untuk memantulkan suara sampai radius tertentu. Selain digunakan untuk kegiatan ibadah, tempat ini juga sering digunakan untuk pagelaran budaya dan kesenian.

Rasa haus tak terelakkan setelah beberapa jenak berkeliling. Kami segera menuju kafetaria yang tak jauh dari amphitheater dan Goa Mahawu. Goa Mahawu bentuknya menyerupai kapel kecil dengan deretan bangku kayu tersedia untuk keperluan ibadat.

Selain kafetaria yang kami tuju, terdapat satu kafetaria lainnya di dekat area parkir. Tempatnya berada di lantai dua rumah panggung, dengan view menghadap ke arah kaki gunung Lokon. Meja dengan bangku bercat putih bersih terlihat kontras sekaligus melengkapi resiknya kedua kafetaria. Melepas lelah sambil menikmati pemandangan alam, ditemani minuman dan pisang goreng cocol sambal terasi yang terkenal itu, adakah yang lebih sempurna?

Kami sungguh beruntung karena Pak Tri, sang ”kuncen” Bukit Doa bersedia mengantarkan kami berkeliling. Perjalanan dimulai dari Via Dolorosa, yang berarti jalan penderitaan atau dikenal juga dengan nama Jalan Salib Mahawu. Hanya dibutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk menyusuri jalan ini tetapi kenyataannya saya menghabiskan waktu lebih lama karena terkagum-kagum, haru dan betah!

Terdapat banyak patung diorama seukuran tubuh manusia karya seniman Teguh Osentrik. Suatu karya seni yang begitu mengagumkan, membawa kita kembali ke masa silam. Saya bergidik ngeri saat melihat diorama ketika Yesus dipaku pada kayu salib, ketabahan jelas terpancar dari wajahnya yang menahan sakit.

Semuanya terasa begitu nyata, seakan saya berada disana pada masa itu. Via Dolorosa memiliki 14 section of cross yang di antaranya menggambarkan saat Yesus dijatuhi hukuman mati, memanggul salib, bertemu Veronika, hingga makamnya.

Beberapa ruas jalan berundak dibatasi pagar yang rapi berlilitkan ijuk hasil buatan tangan pengelola Bukit Doa. Bahan dasarnya pun diambil dari pohon aren yang banyak tumbuh di dalam kawasan.

Perhatian kami teralih dari patung diorama ke rerumpunan bambu. Sebatang bambu besar terlihat bersih seperti habis bercukur, sangat berbeda dengan bambu lainnya yang ramai berhiaskan tunas. Di atasnya, sebuah pesona langka terlihat tenang mengepakkan sayap, menggugah rasa ingin tahu. Kupu-kupu putih, polos tanpa noda.

Daun bambu menjuntai hingga jauh, sebagian membentuk akar serupa sarang burung. Di sisi lain terlihat tanaman palem langka. Cantiknya anggrek hutan dan bebungaan Wallacea dapat dijumpai di berbagai sudut. Gemericik air, kicauan burung dan serangga lainnya menjadi musik pengiring langkah.

Beberapa pekerja terlihat sibuk merawat aset kebun raya tanpa menanggalkan keramahannya. Senyum dan informasi senantiasa siap dibagikan kepada pengunjung. Dulunya berbagai jenis anggrek menghiasi sepanjang Via Dolorosa. Sayangnya tangan jahil pengunjung telah mengusiknya, menyisakan cerita.

Sesudah jalan berundak dapat dijumpai pieta, sebuah bangunan tanpa atap yang bentuknya menyerupai ibu yang sedang merengkuh anaknya. Di dalam pieta terdapat patung diorama Yesus ketika diturunkan dari salib. Terlihat syahdu di antara tanaman rambat yang melekat rapi pada dinding bangunan.

Weerrrrrrrr.... Kepak sayap burung menyambut kami saat memasuki Jesus Tomb. Makam yang terletak d idalam perut bukit ini disebut juga Empty Tomb karena memang kosong, sebagai perlambang kebangkitan Yesus menuju surga. Tepat sebelum terang menggantikan remang terowongan, terlihat langit-langit bertuliskan sebuah ayat dari Injil Yohanes.

Sinar mentari dari luar makam seakan menjadi penuntun menuju Goa Maria yang letaknya tegak lurus dengan pintu makam. Filosofi dibaliknya adalah Maria menjadi penuntun bagi umat menuju terang. Empty Tomb dan Goa Maria dipisahkan oleh jembatan beton selebar dua meter yang dibangun di atas kolam yang cukup luas.

Goa Maria (The Grotto of Mother Mary) memiliki mata air yang tidak pernah kering, sehingga diyakini sebagai air berkat. Sang Perawan Suci berdiri anggun di dalam lengkungan batu, dengan rosario menggantung di tangan kiri.

Tepat di sampingnya, mata air tak henti mengalir ke dinding batu yang lebih rendah. Bergemiricik, menenangkan jiwa. Beberapa peziarah terlihat menyalakan lilin sebelum mulai berlutut dengan khusyuk.

Tak sedikit pengunjung yang memilih untuk melakukan ziarah pada malam hari. Hal ini dimungkinkan karena sepanjang jalan tersedia penerangan yang memadai. Temaram lampu menambah kesyahduan lantunan Doa Jalan Salib sepanjang ziarah.

Menyusuri Bukit Doa membuat saya merasa seperti seorang Paulo Coelho, penulis kenamaan dari Brasil, yang sedang berziarah ke Jalan Santiago. Tempat yang tepat untuk jeda sejenak dari hiruk pikuk duniawi. Tak heran jika popularitasnya sanggup menembus batas agama dan benua.

Bukit Doa juga menyediakan fasilitas untuk kegiatan outbound di Mahawu Adventure Park, penginapan berbentuk rumah panggung khas Minahasa bernama Rumah Retret Alamanda, serta Kelong Garden dengan gazebo dan hall yang dikelilingi taman beserta kolam ikan koi sebagai fasilitas untuk gathering.

"Balance of nature and spirit", benar-benar tagline yang cocok untuk tempat ini. Suatu kawasan wisata spiritual dan ekowisata yang patut dicoba. Tak terasa hari beranjak tua. Lantunan choir merdu terdengar dari arah amphitheater. Kami pun pamit pada Pak Tri, mengucapkan terima kasih atas kesediaannya berbagi pesona alam Bukit Doa. (Wenny Kohongia)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com