BOGOR, KOMPAS.com - Ayam jantan belum berhenti berkokok, namun suaranya kalah oleh keriuhan tempaan besi di pabrik gong milik Haji Sukarna, Jalan Pancasan, Desa Pasir Jaya, Bogor, Jawa Barat.
Pagi itu tujuh pekerja telah berpeluh keringat menempa perunggu yang akan dibuat gong berukuran 50 sentimeter. Bergantian, empat orang menempa perunggu yang berpijar merah membara. Satu orang bertugas membolak-balik perunggu di atas tungku api. Dua orang menjaga nyala api yang berkobar di atas arang. Sisanya memukul perunggu bertalu-talu.
Ada dua pembakaran di dapur pengapian, masing-masing dilengkapi mesin blower untuk membuat api membara. Jangan membayangkan dapur pengapian tertata rapi. Tempat ini terasa sangat pengab dan panas, tidak ada penerangan cukup sehingga banyak nyamuk, berlantai tanah, dengan sirkulasi udara yang tidak baik.
Namun, di tempat inilah alat musik tradisional, Gamelan Degung, tercipta. Siapa sangka pabrik berukuran 17 kali 18 meter ini telah berusia kurang lebih dua abad dan dikelola turun temurun.
"Saya adalah keturunan keenam. Saat ayah saya meninggal, saya langsung menggantikan beliau untuk meneruskan usaha ini. Sudah lebih 40 tahun saya mengelola pabrik ini," kata Sukarna (85), saat ditemui di pabriknya, Kamis (15/9/2011).
Tanpa pesaing
Menurut Sukarna, dulu kawasan ini dikelilingi perkebunan coklat. Ada dua pabrik gong di sekitar tempat ini. Satu pabrik tutup karena pemiliknya meninggal. Tak ada yang meneruskan usaha pabrik itu. Jadilah, pabrik Sukarna berjalan sendiri tanpa pesaing.
"Saya ingat dulu, di Jawa Barat ini ada 6 pabrik gong, tiga di antaranya ada di kawasan Pancasan ini. Persaingan waktu itu cukup ketat, bahkan sejumlah karyawan terbaik saya sempat pindah ke pabrik lain," kata Sukarna.
Pindahnya karyawan-karyawan baik tidak membuat Sukarna patah arang. Apapun yang terjadi, mempertahankan pabrik adalah keharusan. Kualitas gong tidak boleh turun meski permintaan menurun. Konsistensi mempertahankan mutu membuat pabrik Sukarna tak pernah kehilangan pesanan.
"Setahu saya, sekarang hanya ada dua pabrik gong di pulau Jawa, satu di sini (Jawa Barat) dan satunya lagi di Solo (Jawa Tengah). Itu pun memiliki karakter gong yang sangat berbeda, sehingga memiliki pangsa pasar masing-masing" kata dia.
Beradaptasi dengan teknologi
Tidak adanya pesaing saat ini bukan berarti Sukarna bisa dengan mudah menghidupkan pabriknya. Di tengah perkembangan teknologi musik yang kian pesat dan canggih, Sukarna harus memikirkan bagaimana supaya alat musik Gamelan Degung bisa tetap bertahan dan dilirik. Karena ketika gamelan degung tidak lagi dimainkan, otomatis permintaan akan berkurang dan mengancam kelangsungan pabrik.
Beruntung ia bisa membuat dua jenis gamelan degung yaitu diatonis dan pentatonis. Sehingga tidak jarang gamelan degung juga dikolaborasikan dengan alat-alat musik modern.
Sukarna sadar usianya kian uzur. Akan tiba saatnya tongkat estafet pabrik diserahkan kepada orang lain. Syukurlan, anak ketiganya, Krisna Hidayat (31), telah menetapkan hati untuk menerima tongkat estafet itu. Krisna berjanji akan mengembangkan usaha pembuatan gong warisan leluhurnya.
"Walaupun pesanan tetap ada, sulit bagi pabrik ini untuk bertahan jika hanya menunggu pembeli. Kita harus menjemput bola. Karena itu saya sudah membeli domain di internet untuk membuat situs pabrik gong ini dan sekarang dalam proses penyelesaian," kata Krisna.
Ia berharap, internet akan membuat pabrik gong ini dikenal tidak hanya di tingkat lokal tapi juga internasional. "Saat ini memang banyak wisatawan asing yang datang untuk melihat proses pembuatan gong, tapi mereka tidak membeli. Itu yang menjadi target saya berikutnya," tambahnya lagi.
Bahan baku
Tidak berhenti di situ, permasalahan bahan baku juga mempengaruhi. Menurut Sukarna bahan baku yang paling baik untuk membuat gong adalah perunggu. Ia mendapatkan perunggu dari campuran timah asal Bangka Belitung dan tembaga.
Hal ini yang membuat harga gong mahal. Untuk satu set Gamelan Degung berbahan dasar perunggu yang terdiri dari Bonang, Saron, Jengglong, satu gong kecil (diameter 50 cm) dan satu gong besar (ukuran 75-85 cm) membutuhkan waktu pembuatan selama tiga minggu. Sukarna mematok harga Rp 35 juta hingga Rp 40 juta.
Namun dengan harga sebesar, tidak pernah pabrik ini tidak mendapatkan pesanan sama sekali. "Pesanan itu bisa dibilang sedang sedikit atau sedang banyak. Saya tidak ingat pernah mengatakan pesanan itu tidak ada," kata Krisna.
Masih ada masyarakat yang melestarikan budaya musik tradisional, menurut Krisna, membuat pabrik ini tetap berjalan. Tidak jarang pesanan itu datang dari pulau Jawa seperti Lampung, Aceh, Maluku hingga Sulawesi.
Selama masih ada yang memainkan gong dan gamelan degung, maka suara besi tempa di Pancasan masih akan bertalu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.