Bagi Inan Pame (51), bandara itu dulunya adalah lahan pertanian yang menghidupinya. Beberapa tahun lalu, Pame dan sebagian besar warga melepas tanah mereka seharga Rp 200.000 per are (satu are setara dengan 100 m
Sejak itu Pame bekerja serabutan dan menjadi pedagang keliling. Pame dan puluhan petani setempat kini mencoba peruntungan dengan menggelar lapak di bandara baru ini. ”Di sini lebih laris, tetapi kami hanya diberi waktu dua hari, Sabtu dan Minggu. Mulai hari Senin (3/10) kami sudah tak boleh berdagang di sini,” kata Pame.
Namun, Pame bertekad tetap berjualan. Ia biasanya berdagang di lokasi yang terdapat keramaian. Ia mengejar rezeki ke mana pun sejak ditinggal suaminya dua tahun silam. Bandara baru yang megah di tengah lahan kering Lombok Tengah itu menjadi secuil harapan bagi Pame dan masyarakat kecil lainnya yang kini tidak punya lahan pertanian karena dilepas untuk pembangunan bandara.
Asa mereka sepertinya akan mental oleh aturan pengelolaan bandara internasional yang seharusnya steril dari lapak dan pedagang kaki lima.
Tak hanya masalah mental dan ketidaksiapan masyarakat, Bandara Internasional Lombok juga cenderung dipaksakan beroperasi walaupun infrastruktur fisiknya belum rampung betul.
Sejumlah fasilitas dasar yang dibutuhkan penumpang belum tersedia. Penumpang yang akan berangkat hanya dapat menggunakan troli sebatas pintu masuk keberangkatan. Selepas pemindaian menuju loket check in, penumpang terpaksa mengangkut sendiri barang bawaan mereka. Hidayat, calon penumpang tujuan Bali, yang membawa banyak perlengkapan pendakian terpaksa menyeret ransel-ransel beratnya ke tempat check in.
Fasilitas bangunan lain pun belum sepenuhnya terpasang. Suasana di dalam toilet laki-laki dan perempuan remang-remang lantaran lampu-lampu belum terpasang sehingga menyulitkan pengguna. Tempat pembuangan sampah juga belum tersedia sehingga sampah dari warga yang menonton aktivitas bandara dan pedagang yang menggelar dagangan berserakan.
Bandara yang mulai beroperasi 1 Oktober 2011 itu terkesan belum sepenuhnya siap. Sisa material bangunan masih terlihat. Toko-toko dan tempat makan di lantai dua terminal keberangkatan juga belum semuanya beroperasi.
Bandara yang seharusnya bisa menjadi etalase bagi pariwisata Lombok justru jadi bumerang. Apalagi, membangun bandara ternyata juga bukan melulu fisik. Lebih penting lagi, menyiapkan masyarakat agar tidak terkaget-kaget....