Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mendaki Gunung untuk Hidup

Kompas.com - 18/12/2011, 20:57 WIB
Ahmad Arif dan Agung Setyahadi


Jalan setapak itu mendaki tanpa ampun. Terus mendaki, tak berkesudahan. Napas tersengal, tenaga terkuras. Pantas saja para pendaki menyebut tanjakan itu ”Bukit Penyesalan”. Maksudnya barangkali untuk menyesali ”dosa-dosa” masa lalu karena kurang giat olah fisik.

Bersandal jepit, Marahidun (50) berjalan tanpa jeda. Dua keranjang berisi bahan makanan seberat 30 kilogram yang dia pikul seolah tak membebaninya. Lelaki dari Desa Sembalun Lawang, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, itu melewati kami yang terengah di ”Bukit Penyesalan” di lereng Gunung Rinjani.

Syaifudin (30) juga bersandal jepit dan memikul keranjang berisi bahan makanan. Persis seperti Marahidun, gerakan kakinya lincah seperti kijang muda. Begitu cepat dan tanpa jeda.

Kedua porter (pengangkut barang) ini bergegas untuk sampai di pos pemberhentian di Plawangan Sembalun untuk menyiapkan makanan. Sambil menghela napas, kami bertanya apa menu siang itu. ”Vegetable biasa,” seru Syaifudin, pemimpin porter. Kebiasaan dia melayani pendaki luar negeri membuat lelaki yang tak bisa baca-tulis ini menyebut menu sayur rebus dengan bahasa campuran, Inggris-Indonesia.

Banyaknya alat yang dibawa, termasuk perahu karet, medan pendakian yang berat dan panjang, hingga sulitnya air bersih membuat peran porter menjadi sangat penting. Ahli botani Belanda, Zollinger, yang tercatat sebagai pendaki pertama ke Rinjani pada 1846, juga mengandalkan porter lokal. Namun, dia akhirnya membatalkan niat ke puncak karena kehabisan air bersih.

Pendakian berikutnya ke Rinjani juga selalu mengandalkan porter. Vulkanolog dari Direktorat Geologi (Bandung), Kama Kusumadinata, yang mendaki Rinjani pada tahun 1969, juga mengandalkan porter lokal. Dengan tim pendaki beranggotakan empat orang, Kusumadinata membawa delapan porter lokal, termasuk satu pemangku adat dari Senaru. ”Orang-orang itu memang kuat-kuat berjalan,” kata Kusumadinata.

Pendakian ke Rinjani pada masa lalu harus disertai pemangku adat. ”Pendakian waktu itu juga disertai pemangku gunung karena Rinjani masih dianggap sebagai tempat keramat,” ujar Marahidun, yang menjadi porter sejak tahun 1989. Awalnya, dia menjadi porter karena diperintahkan Kepala Dusun Sembalun Mustiadi untuk menemani peneliti Amerika Serikat yang ingin meneliti flora dan fauna di Rinjani.

Saat itu, belum banyak warga sekitar Rinjani yang menjadi porter. Warga lebih memilih menjadi petani. Sembalun berjaya sebagai penghasil bawang putih. ”Warga mendaki Rinjani saat itu lebih untuk mencari kesembuhan atau bertapa,” kata Syaifudin.

Jalur wisata

Hingga tahun 1990-an, mencari porter di Rinjani tidaklah gampang. Selain medan yang sulit, tak sembarang orang berani mendaki ke sana. Gunung Rinjani merupakan gunung keramat bagi warga setempat. Pendakian juga memakan waktu lama karena harus membuka semak belukar sepanjang jalan.

Pendakian semakin berat selepas Sungai Padabalong hingga Plawangan Sembalun. Jalurnya terus menanjak tanpa ampun. Rute menuju Plawangan Sembalun terkenal dengan sebutan ”Bukit Penyesalan”.

Namun, menjelang tahun 2000-an, pertanian di kaki Rinjani semakin mundur. Sejak saat itu, banyak warga beralih profesi menjadi porter. ”Saat itu, kami mendapat bayaran Rp 2.500 per hari. Jika dibelanjakan, upah sehari itu bisa mendapat 50 kilogram beras,” kata Marahidun. Upah itu sangat besar waktu itu dibandingkan upah buruh bangunan atau tani yang hanya Rp 200 per hari.

Seiring dengan waktu, jalur pendakian ke Gunung Rinjani semakin populer, khususnya bagi pendaki mancanegara. Puncaknya, pada tahun 2009, jumlah pendaki Rinjani dari luar negeri mencapai 8.455 orang. Adapun jumlah pendaki dalam negeri mencapai 1.668 orang.

Kebutuhan akan porter pun meningkat. Namun, upah sebagai porter jauh lebih kecil dibandingkan tahun 1990-an. Kini, sebagai porter, Marahidun dibayar Rp 100.000 per hari, setara dengan 20 kilogram beras.

”ATM” warga

Meskipun rezeki dari bekerja sebagai porter mengecil, pekerjaan itu tetap menjadi tumpuan. Upah porter jauh lebih besar dibandingkan upah tukang ojek, yang rata-rata mendapat Rp 30.000 per hari, atau buruh tani, yang mendapat Rp 15.000 per hari.

Pertanian makin tidak menjanjikan. ”Kalau ditanami malah rugi,” kata Syaifudin.

”ATM (anjungan tunai mandiri) kami, ya, di gunung ini,” ujar Rahidun (22). Rahidun kembali ke Sembalun dan menjadi porter pada awal 2011 setelah merantau selama delapan tahun di Sabah, Malaysia.

Kini, warga Rinjani mendaki gunung untuk hidup. ”Kalau tak ada Rinjani, kami tak bisa makan sekarang,” kata Syaifudin.

Namun, jadi porter pun mengenal musim. Selama Desember hingga Januari, jalur pendakian di Rinjani ditutup karena memasuki musim hujan dan badai. Pada bulan-bulan itu, para porter biasa memilih bekerja sebagai buruh migran di Malaysia. Tak terkecuali Syaifudin yang berancang-ancang ke Malaysia begitu turun dari Rinjani. ”Uang bayaran ini akan saya pakai untuk bayar tekong yang bisa bawa bekerja di Malaysia,” katanya. ”Bulan-bulan ke depan, ATM kami di gunung ditutup.”

(Indira Permanasari/Cornelius Helmy Herlambang)

Ikuti perkembangan Ekpedisi Cincin Api di: www.cincinapi.com atau melalui facebook: ekspedisikompas atau twitter: @ekspedisikompas

 
Lihat Ekspedisi Cincin Api - Rinjani di peta yang lebih besar

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com