Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rama Permana
Peneliti

Kandidat Doktoral bidang Transportasi Pariwisata Bournemouth University, Peneliti di Center for Policy and Public Management SBM ITB Jakarta

Menyoal Polemik Pungutan Dana Pariwisata

Kompas.com - 08/05/2024, 10:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DANA pariwisata atau Tourism Funds (TF) akan segera digulirkan pemerintah pusat. Namun, “pungutan resmi pariwisata” melalui harga tiket pesawat dianggap akan membebani penumpang.

Dana ini juga hanya ditujukan untuk promosi pariwisata, pengenalan bangsa (nation branding), dan penyelenggaraan kegiatan internasional.

Meluruskan tujuan penggunaan dana dan membebankannya kepada yang tepat menjadi kunci efektivitas dana pariwisata. Tujuan dan sasaran TF yang kini masih samar menyebabkan kontroversi publik.

Pariwisata berkelanjutan sebagai tema sentral di dunia saat ini justru belum terlihat menjadi parameter utama dalam wacana TF.

Alih-alih untuk sekadar aktivitas pemasaran, TF juga harus dimanfaatkan untuk menjaga ketahanan bentang alam dan budaya sebagai modal jangka panjang pariwisata Indonesia.

Melalui pendekatan pembangunan rendah karbon, siapa yang harus membayar iuran dana dan bagaimana mekanismenya dapat teridentifikasi dengan baik. Pendekatan ini menuntut pencapaian emisi nol bersih –sesuai target Indonesia– di tahun 2060.

Berbasis karbon

Pungutan pariwisata kepada wisatawan sebenarnya sudah dikenal dengan istilah tourism levy. Pajak pariwisata ini dikenakan berdasarkan keterisian penginapan di negara-negara dengan ekonomi pariwisata yang kuat, seperti Spanyol dan Perancis.

Inggris Raya yang dikunjungi hampir 40 juta wisatawan per tahun saja belum memberlakukan pajak semacam itu. Indonesia berpeluang menerapkannya jika diiringi dengan narasi keberlanjutan dan ekonomi rendah karbon.

Paradigma disinsentif semestinya diberlakukan terhadap aktivitas yang perlu dikurangi. Contohnya, cukai gula untuk mengurangi risiko masyarakat dari penyakit diabetes dalam jangka panjang.

Jika pariwisata berkelanjutan menjadi tujuan TF, maka pungutan ini lebih tepat dikenakan kepada aktivitas pariwisata dengan emisi karbon yang tinggi.

Mengacu pada dampak lingkungan di sektor pariwisata global, perjalanan udara adalah kontributor terbesar sebanyak 49 persen emisi (Lenzen dkk., 2018). Otoritas pariwisata dunia atau UN Tourism juga menyerukan perjalanan wisata yang lebih ramah lingkungan.

Contohnya, tinggal lebih lama di destinasi wisata (longer length of stay) dan menggunakan moda transportasi dengan emisi per kapita lebih rendah.

Outlook Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2023-2024 menunjukkan tingginya potensi permintaan wisata ramah lingkungan. Hal ini menyiratkan urgensi kesesuaian respons pemerintah melalui kebijakan berbasis karbon.

Disinsentif dapat dibebankan terhadap moda dengan emisi per kapita lebih tinggi seperti pesawat dan mobil pribadi. Sedangkan, insentif dapat dikucurkan kepada moda transportasi alternatif. Contohnya, kapal laut, kereta, bus, dan sepeda.

Tepat sasaran

Namun, membebankan TF kepada seluruh penumpang pesawat tentu tidak adil. Tidak semua penumpang pesawat adalah wisatawan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com