Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ikat Bali Nan Memikat

Kompas.com - 02/05/2012, 11:39 WIB

Dua puluh tahun lalu tenun ikat (”endek”) Bali merajai pasaran lokal. Seiring waktu dan rontoknya penenun di daerah pariwisata ternama itu, sejumlah alat tenun bukan mesin di rumah-rumah kerajinan pun pensiun.

Itu dulu. Kini sejumlah rumah mode di Denpasar bangga menggerai tenun ikat. Jenis kain ini kembali menjadi tren pasaran kain. Ia hadir kembali menjadi primadona. Cantik, modis, trendi, dan yang terpenting bervariasi. Endek tak hanya dipakai dalam ajang peragaan busana seperti di panggung Pesona Tenun Ikat Denpasar. Endek juga menjadi pembalut tubuh dalam aktivitas keseharian para karyawan di seputar Denpasar.

Gencarnya promosi Pemerintah Kota Denpasar untuk membantu perajin-perajin agar kembali bersemangat dan bangga pada tenun ikat sendiri pun mulai terasa hasilnya. Sayangnya, keriaan itu belum sepenuhnya. Rumah-rumah kerajinan tenun ikat yang masih bertahan dari keruntuhan kini malah kewalahan melayani pesanan. Sebelumnya setidaknya di kota ini terdapat 150 perajin tenun ikat endek.

Tak hanya itu. Penjahit-penjahit pakaian jadi pun kelabakan karena stok kain menipis. Sementara keberadaan penenun tenun ikat belum bisa melakukan regenerasi. Anak muda lebih suka memilih menjadi karyawan ketimbang duduk berjam-jam menenun lembaran kain endek.

Endek Pulau Dewata memang tak berbeda pembuatannya dengan tenun ikat di daerah lain di Indonesia. Hanya motif yang membedakannya.

Pertemuan benang

Tenun ikat merupakan pertemuan benang pakan (horizontal) dengan benang lusi (vertikal). Benang pakan ini yang menjadi inti tenun endek. Prosesnya pun panjang. Semakin rumit motif, semakin banyak ikatan (bebedan), semakin lama prosesnya, semakin mahal pula harga kainnya.

Pengamat kain dan kolektor kain tenun serta dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Anak Agung Ngurah Anom Mayun Konta Tanaya, menjelaskan bahwa pada zaman kerajaan masih berjaya, kain tenun begitu eksklusif. Dengan motif dan bahan benang, baik untuk tenun songket maupun endek, lanjutnya, kain itu bisa membedakan status si penggunanya.

Pada tenun songket, motif hewan seperti singa dan naga dengan menggunakan benang emas itu serasa mutlak milik seorang raja. Begitu juga endek. ”Hanya keluarga puri dan orang kaya saja biasanya bisa memakai endek dan songket. Tapi, sekarang, siapa pun bisa memakainya. Mari ambil hikmahnya, sementara ke sampingkan makna motif bahwa bisa kembali diminati masyarakat, terutama endek, itu sudah bagus,” ungkap Ngurah Tanaya.

Pada tahun 1970-an, kerajinan tenun ikat AAA, milik almarhum ayah dan ibu Ngurah Tanaya, merupakan yang pertama di Kota Denpasar. Semenjak kedua pasangan itu meninggal, kerajinan itu pun surut dan bangkrut. Perajin-perajin tahun 1980-an yang menikmati masa kejayaan endek dan masih bertahan hingga kini tinggal beberapa. Sebut saja beberapa nama seperti Sekar Jepun, Putri Ayu, dan Bali Nusa.

Etmy Kustiyah Sukarsa, pemilik kerajinan tenun ikat Sekar Jepun, bangga dirinya masih bertahan dari naik-turunnya peminat endek. Kini ia kewalahan. ”Orderan perkantoran, terutama perbankan, mengalir terus ratusan jumlahnya. Padahal, penenun saya juga terbatas. Tetapi, mereka (pemesan) ngotot ingin Sekar Jepun yang menenun,” tutur istri ahli kalender Bali, (alm) Ketut Kebek Sukarsa.

Ia mengakui, tenun ikat produknya memiliki desain sendiri. Ia pun mengaku terpaksa keluar dari motif-motif biasanya. Menurutnya, ini menjadi momentum meraih kembali kejayaan masa lalu. Oleh karena itu, Etmy bertekad harus bisa berkreasi lebih dari yang lalu.

”Saya tidak mau endek tenunan Sekar Jepun biasa saja. Saya mau ada kreasi dan seni yang terus berkembang. Endek harus bisa modern dan gaya, terutama untuk perempuan,” ujarnya.

Soal warna, Ngurah Tanaya mengatakan, pada tahun 1980-an itu motif masih seputar bunga dan binatang, termasuk warna justru cerah. Sayangnya, kain endek masa lalu itu bisa luntur sehingga tak bisa dicuci jika ingin warnanya bertahan. Hanya diangin-anginkan saja.

Sekarang, bagi Etmy, tidak ada lagi cerita endek itu luntur dan tak bisa dicuci. Ia terus bereksperimen dengan benang-benang terbaik dan pewarna yang andal. Memang, satu kain berukuran panjang 2,25 meter x 90 sentimeter tersebut bisa diselesaikan dalam dua minggu dengan motif tak terlalu rumit. Namun, semua bahannya berasal dari luar Bali. Harga per kainnya pun bervariasi, yaitu mulai dari Rp 300.000 hingga lebih dari Rp 1 juta.

Entakan

Entakan tangan sang penenun juga menjadi pertaruhan eksklusivitas selembar kain. Kerapian motif dan barisan benang lusi-pakan menjadi jaminan keindahan. Benangnya pun bisa semahal sutra.

Kini, modifikasi endek dengan bordir serta penambahan manik-manik pun menjadi tren. Bahkan, variasi produk tak berhenti pada dompet dan tas saja, tetapi juga aksesori seperti bros dan jepit rambut.

Tak tanggung-tanggung, Ni Made Mas Sriwahyuni, penjahit kenamaan endek Edelweiss di Denpasar, memadu padan baju-baju endek dengan songket. Bagaimana responsnya? Sejumlah masyarakat menerimanya.

Bukan hanya perkantoran, anak-anak sekolah pun pada hari Jumat tak canggung pakai baju endek seperti SMA Negeri 4 Denpasar.

Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kota Denpasar Selly Rai Mantra Dharmawijaya menegaskan, promosi gencar-gencaran soal tenun ikat atau endek ini bukan untuk menyaingi batik, tetapi agar generasi muda tak lupa dengan kain-kain yang terlahir dari daerahnya sendiri. ”Bali ini pulau yang berbudaya. Malu rasanya jika kita tak terlibat untuk melestarikan apa yang lahir dari orangtua kita. Ya salah satunya, endek ini,” tegasnya.

Bagaimanapun, kain begitu dekat dengan keseharian serta kehidupan masyarakat Pulau Bali. Semenjak dalam kandungan, kelahiran, upacara keagamaan, hingga kematian, kain begitu dekat dan melekat. Jika tenun ikat atau endek saja dulu bisa berjaya, mengapa tidak untuk saat ini. (Ayu Sulistyowati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

6 Taman untuk Piknik di Jakarta, Liburan Hemat Bujet

6 Taman untuk Piknik di Jakarta, Liburan Hemat Bujet

Jalan Jalan
7 Taman Gratis di Yogyakarta, Datang Sore Hari Saat Tidak Terik

7 Taman Gratis di Yogyakarta, Datang Sore Hari Saat Tidak Terik

Jalan Jalan
Istana Kepresidenan Yogyakarta Dibuka untuk Umum, Simak Caranya

Istana Kepresidenan Yogyakarta Dibuka untuk Umum, Simak Caranya

Travel Update
Jadwal Kereta Cepat Whoosh Mei 2024

Jadwal Kereta Cepat Whoosh Mei 2024

Travel Update
Cara Berkunjung ke Museum Batik Indonesia, Masuknya Gratis

Cara Berkunjung ke Museum Batik Indonesia, Masuknya Gratis

Travel Tips
Amsterdam Ambil Langkah Tegas untuk Atasi Dampak Negatif Overtourism

Amsterdam Ambil Langkah Tegas untuk Atasi Dampak Negatif Overtourism

Travel Update
Perayaan Hari Tri Suci Waisak 2024 di Borobudur, Ada Bhikku Thudong hingga Pelepasan Lampion

Perayaan Hari Tri Suci Waisak 2024 di Borobudur, Ada Bhikku Thudong hingga Pelepasan Lampion

Travel Update
Destinasi Wisata Rawan Copet di Eropa, Ternyata Ada Italia

Destinasi Wisata Rawan Copet di Eropa, Ternyata Ada Italia

Jalan Jalan
Kenaikan Okupansi Hotel di Kota Batu Tidak Signifikan Saat Libur Panjang Kenaikan Yesus Kristus

Kenaikan Okupansi Hotel di Kota Batu Tidak Signifikan Saat Libur Panjang Kenaikan Yesus Kristus

Travel Update
KA Bandara YIA Tambah 8 Perjalanan Saat Long Weekend Kenaikan Yesus Kristus, Simak Jadwalnya

KA Bandara YIA Tambah 8 Perjalanan Saat Long Weekend Kenaikan Yesus Kristus, Simak Jadwalnya

Travel Update
Kekeringan Parah Ancam Sejumlah Destinasi Wisata Populer di Thailand

Kekeringan Parah Ancam Sejumlah Destinasi Wisata Populer di Thailand

Travel Update
Libur Panjang Kenaikan Yesus Kristus, Kunjungan Wisatawan ke Kota Batu Naik

Libur Panjang Kenaikan Yesus Kristus, Kunjungan Wisatawan ke Kota Batu Naik

Travel Update
Bangka Bonsai Festival Digelar Sepekan di Museum Timah Indonesia

Bangka Bonsai Festival Digelar Sepekan di Museum Timah Indonesia

Travel Update
Cara ke Tebing Keraton Bandung Pakai Angkot, Turun di Tahura

Cara ke Tebing Keraton Bandung Pakai Angkot, Turun di Tahura

Jalan Jalan
Kemenparekraf Dorong Parekraf di Bogor Lewat FIFTY, Ada Bantuan Modal

Kemenparekraf Dorong Parekraf di Bogor Lewat FIFTY, Ada Bantuan Modal

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com