Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Marak, Pulau Sepi yang Semarak

Kompas.com - 30/08/2012, 07:49 WIB

Oleh Ingki Rinaldi

Suara siamang (Symphalangus syndactylus) bersahutan tersamar saat kaki mulai menjejak hamparan pasir putih Pulau Marak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Suara dalam serta berat terkadang nyaring membelah pulau dengan luas sekitar 256 hektar itu.

Sekitar 400 meter dari bibir pantai terlihat kandangkandang berisikan sumber suara yang saling bersahutan tadi. Selain siamang, terdapat pula owa (Hylobates agilis), siamang mentawai/bilou (Hylobates klossi), dan beruk mentawai/bokkoi (Macaca pagensis).

Satwa-satwa itu tengah direhabilitasi oleh Yayasan Kalaweit dan Kalaweit Society yang berpusat di Perancis di atas lahan seluas 5 hektar. Di sepanjang perjalanan membelah rawa yang sudah dipasangi jembatan dengan pagar kawat beraliran listrik.

”Pagar itu sempat dialiri listrik untuk mencegah satwa liar lainnya masuk ke kawasan rehabilitasi. Tetapi karena hanya dari tenaga baterai, aliran listriknya tidak sampai menjangkau sepanjang 1 kilometer. Akhirnya sekarang dimatikan,” kata Fauzan, Paramedis dan Kepala Staf Kalaweit di Pulau Marak.

Di tengah kawasan itu terdapat bangunan tempat tinggal staf, dokter hewan, dan paramedis yang dipekerjakan Kalaweit. Terdapat enam kamar dan sebuah mushala dengan panel-panel surya sebagai pembangkit listrik mandiri.

Jika siang hari mendung, listrik yang dihasilkan untuk menerangi malam tak akan cukup bertahan hingga dini hari. Namun, sinyal telekomunikasi dan siaran televisi bisa ditangkap dengan baik di kawasan ini.

Beberapa waktu belakangan televisi yang ada tak bisa dihidupkan. ”Saya minta agar televisi sekalian saja tidak usah diperbaiki supaya bisa fokus merawat satwa,” kata Fauzan.

Karena itu, hiburan bagi para staf seusai memberi makanan atau mengecek kesehatan satwa adalah berkonsentrasi pada aneka jenis permainan kartu. Kartu domino, kartu remi, dan koa memenuhi meja di barak.

Saat ini terdapat empat staf dan tiga dokter hewan yang bertugas bergantian di bawah koordinasi Fauzan. Itu masih ditambah seorang petugas adopsi dan seorang tukang masak. Mereka bekerja bergantian.

Beragam

Selain satwa yang tengah direhabilitasi sebelum dikembalikan ke alam liar, Pulau Marak dihuni flora dan fauna yang beragam. Manajer Umum Kalaweit Asferi Ardiyanto mencatat, terdapat sekitar 50 jenis burung, 33 spesies kupu-kupu, sejumlah reptil, kura-kura darat, labi-labi, dan hewan amfibi.

Adapun kekayaan flora, termasuk beraneka jenis kayu, sempat menjadi sasaran pembalak liar. Khusus untuk burung, beragam jenis burung berkicau seperti kacer dan murai batu, sempat menjadi incaran pemburu tak bertanggung jawab.

Pengawasan dengan patroli satu pekan sekali untuk mengawasi tindakan ilegal itu. ”Kerap kali para pemburu itu sudah menjaga langkah kami sehingga ketika patroli tidak ada mereka langsung beraksi,” kata Fauzan. Pulau itu juga sering menjadi tujuan penelitian, seperti observasi jenis burung dan ular.

Keragaman Pulau Marak yang membuat Kalaweit memutuskan untuk menjalankan program rehabilitasi itu. Selain itu, juga faktor keamanan lingkungan karena lokasi yang terpisah dengan permukiman di daratan dan jarak yang relatif tak terlalu jauh dari daratan utama di Sumatera.

”Semua satwa merupakan bekas peliharaan masyarakat. Di sini adalah kesempatan kedua bagi satwa liar untuk kembali ke alamnya,” jelas Asferi.

Sejak dimulai pada 2003, program rehabilitasi di pulau ini tak mengubah apa pun yang sudah ada. Bahkan, tanaman buah-buahan, seperti pisang yang menjadi asupan utama satwa rehabilitasi, didatangkan dari Nagari Sungai Pinang.

Sebagian warga di nagari itu menanam pisang atas yang panenannya dibeli Kalaweit. Babi hutan, yang kini cenderung mengganggu karena populasinya terlampau banyak, juga tidak pernah diburu. ”Kebijakan kami dari awal memang membiarkan kondisi Pulau Marak sealami mungkin,” ungkap Asferi.

Pulau Marak berjarak 7,37 kilometer dari daratan Nagari Sungai Pinang dan bisa ditempuh dengan pelayaran biduk sekitar 50 menit. Setengah perjalanan di antaranya dilalui dengan hantaman gelombang hingga ketinggian 2 meter. Ini disebabkan Pulau Marak berada di Selat Kepulauan Mentawai dengan hamparan laut lepas.

Di sekitar Pulau Marak terdapat sejumlah pulau lain, seperti Pulau Kapo-Kapo, Pagang, dan Pulau Nyamuk yang agak jauh di bagian barat. Pulau Marak tidak berpenghuni dan hingga kini merupakan lokasi persinggahan nelayan dan tempat masyarakat memetik kelapa.

Harapan bawah laut

Namun, kondisi di bawah permukaan laut tidak seramai di daratan. Pada penyelaman dengan metode menahan napas hingga kedalaman sekitar 4 meter terlihat sedimentasi tebal menutupi hamparan terumbu karang bercabang yang mati.

Hanya terdapat jenis Porites sp dan sebuah koloni hewan laut anemon dalam satu bidang pengamatan. Ikan yang dominan terlihat adalah jenis indikator seperti Acanthurus sp yang jumlahnya relatif banyak dalam rombongan besar.

Jarak pandang relatif baik meskipun kekeruhan telatif tinggi. Pasalnya, penyelaman dilakukan pada tengah hari dan dipengaruhi pola arus balik yang mengaduk material dasar berupa pasir.

Peneliti Yayasan Minang Bahari, Samsuardi, mengatakan, kematian massal terumbu karang itu kemungkinan dipengaruhi oleh fenomena red tide. Ini terjadi ketika populasi fitoplankton meledak sekitar 1997 sehingga menyebabkan kematian massal terumbu karang.

Menurut salah seorang nelayan setempat, Agusman, hal itu tak terlepas dari penggunaan potasium untuk menangkap ikan di masa lalu. ”Sepuluh tahun lalu terumbu karang masih bagus dan terlihat warna-warni. Ikan tenggiri, bawal, dan kerapu masih banyak, tapi sekarang sudah tidak terlihat lagi,” ucapnya.

Pada bagian perairan dangkal terlihat teripang hitam (Holothuria nobilis) yang nilai ekonomisnya relatif rendah. Tidak terlihat teripang pasir (Holothuria scabra) yang nilai ekonomisnya relatif tinggi.

Namun, masih bisa dilihat kima besar (Tridacna maxima). Kima adalah satwa berkelamin ganda yang bersimbiosis dengan Zooxanthellae untuk beroleh makanan serta lewat filterisasi partikel organik perairan.

Tridacna maxima terdaftar dalam Appendiks II Konvensi Internasional untuk Perdagangan Spesies Langka (CITES). Keberadaannya sekaligus menjadi indikator masih bersihnya ekosistem perairan.

Bakal ditinggalkan

Sebagai lokasi rehabilitasi satwa, Pulau Marak bakal ditinggalkan waktu tiga tahun mendatang. Sebagian satwa yang siap akan dilepasliarkan ke kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Jambi.

Sebagian lain direhabilitasi ke lokasi baru di Nagari Supayang, Kecamatan Payung Sekaki, Kabupaten Solok, Sumbar. Di lokasi itu kini sudah terdapat 11 siamang dan owa serta seekor beruang madu dalam kawasan seluas sekitar 8 hektar.

Selanjutnya, Pulau Marak dijadikan kawasan konservasi alami dan menanti kepastian status itu lewat produk peraturan daerah. Karena itu, Asferi berharap dukungan nyata dari pemerintah, misalnya dengan menerapkan konsep ekoturisme.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com