Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mau Lihat Moko, Datanglah ke Alor

Kompas.com - 11/10/2012, 16:32 WIB

Oleh FRANS SARONG

Benda kuno mirip gendang atau tambur yang terbuat dari perunggu dikenal bernama nekara. Di negara ini, nekara tidak hanya ditemukan di Jawa, Bali, Selayar, atau sejumlah daerah lainnya. Peninggalan sejenis juga banyak dijumpai di Alor, yang mengenalnya bernama moko, dan bahkan tidak terpisahkan dengan kehidupan adat masyarakat setempat.

Alor adalah satu dari 21 kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur (NTT). Dengan wilayah daratan seluas 2.864,6 kilometer persegi dari himpunan 20 pulaunya—hanya sembilan di antaranya berpenghuni—Alor sejak lama merupakan bagian lintasan jalur pelayaran perdagangan internasional yang menghubungkan kawasan Samudra Pasifik.

Belum diketahui secara rinci kapan dan mengapa benda budaya peninggalan zaman perundagian atau zaman perunggu itu masuk serta banyak bertebaran di Alor. Yang pasti, moko atau nekara sejak lama menjelma menjadi status sosial di kalangan masyarakat setempat. Selain menjadi benda sakral, moko bermakna sebagai maskawin/ mahar atau disebut belis oleh warga setempat. Moko juga digunakan sebagai gendang pengiring musik tarian adat.

Moko adalah salah satu koleksi andalan Museum NTT. Dari 6.199 item koleksinya berupa benda arkeologis, biologis, geologis, geografis, etnografis, peninggalan sejarah, keramik, numismatik, heraldik, seni rupa dan teknologi, termasuk belasan moko aneka ukuran.

Tuntunan mimpi

Pengelola moko di Museum NTT, Lelly Taolin, mengisahkan, sebenarnya museum yang berlokasi di Jalan Frans Seda, Kota Kupang, itu memiliki sebuah moko berukuran lebih besar. Sayang, moko bertipe Heger I itu harus dikembalikan ke daerah asalnya, menyusul peresmian Museum 1000 Moko Alor di Kalabahi (kota kabupaten) oleh Gubernur NTT Piet A Tallo, tahun 2004.

Penemuan moko kategori Heger I menyimpan kisah mistis. Adalah seorang warga Desa Kokar, Kecamatan Alor Barat Laut (Alor), bernama Simon J Oil Balol. Pada suatu malam pekan ketiga Agustus 1972, sang tetua bermimpi. Intinya mengisyaratkan titik lokasi keberadaan moko yang sedang terkubur dalam tanah di wilayah desa tersebut. Keesokan harinya, tepatnya pada 20 Agustus 1972, Simon bersama sejumlah anggota keluarganya melakukan penggalian pada lokasi yang diisyaratkan itu. Mimpi itu terbukti benar, Simon berhasil menemukan benda budaya yang kemudian diberi nama moko nekara.

Seperti lazimnya, moko nekara menyerupai tambur atau gendang. Bagian tengah lingkaran puncaknya berukiran bintang dan ditempeli empat patung kodok di bagian tepinya. Selain itu, di bagian tengah badannya ditempeli empat ukuran mirip daun telinga.

Setelah sekitar empat tahun tersimpan dan jadi benda sakral di rumah kediaman keluarga Simon J Oil Balol di Desa Kokar (Alor), moko itu pada tahun 1976 diserahkan kepada Unit Pelaksana Tugas Arkeologi, Sejarah, dan Nilai Tradisional NTT di Kupang. Selanjutnya, moko itu termasuk dalam koleksi perdana menyusul berdirinya Museum NTT, tahun 1977.

”Karena ukurannya yang lebih besar serta kisah mistis di baliknya, moko itu memang pernah menjadi koleksi kebanggaan Museum NTT, setidaknya selama 27 tahun. Namun, karena ternyata ada perjanjian awalnya, benda kuno itu terpaksa harus dikembalikan ke Alor setelah kabupaten itu memiliki museum sendiri tahun 2004,” kenang Kepala Museum NTT Leonard Nahak, di Kupang, Rabu (5/9/2012).

Selain moko, Museum NTT sebenarnya juga memiliki koleksi favorit lain, yakni dua jenis kapak perunggu yang disebut sebagai kapak upacara. Kedua kapak kuno itu dari temuan di Pulau Rote (Kabupaten Rote Ndao) tahun 1875 dan temuan di Pulau Sabu (Kabupaten Sabu Raiju) tahun 1971.

”Disebut favorit karena banyak pengunjung, terutama pengunjung asing, selalu menanyakan dua kapak itu. Mereka tampak berminat mendalami informasi perihal dua benda kuno itu,” jelas pengelola koleksi Museum NTT lainnya, Soleman Bessie.

Disebut kapak upacara karena di Sabu atau Rote, kedua kapak telah menjelma jadi benda sakral dan hanya dikeluarkan saat upacara adat, terutama yang berhubungan dengan budidaya pertanian.

Khusus kapak temuan di Landu (Rote Ndao), dilaporkan hanya ada tiga di dunia. Selain menjadi koleksi Museum NTT sejak tahun 2000, satu kembarannya di Museum Nasional Jakarta, dan satu lainnya lagi terbakar ketika pameran di Paris tahun 1931. Adapun kapak upacara temuan di Kampung Rai Dewa, Desa Kabila (Sabu Raijua), disebut kuhi rai oleh masyarakat setempat. Kapak itu menjadi koleksi Museum NTT sejak tahun 1979.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com