Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Memijat" Teh di Kyoto

Kompas.com - 17/10/2012, 16:54 WIB

KERTAS jadwal perjalanan kami ke Tokyo dan Kyoto, Jepang, akhir Juni 2012 lalu, mencantumkan kegiatan yang unik, yaitu ”tea massage”. Semula bertanya-tanya, apakah ini undangan menikmati relaksasi untuk dipijat di sebuah spa dengan sejenis aroma daun-daunan teh, atau sungguh-sungguh ”memijat” teh? Ternyata, yang terakhir itu yang benar. Kami menjalani kegiatan memijat daun teh mentah. Rombongan kami terkejut, heran, dan tertawa-tawa dibuatnya.

Bengkel seni (atelier) Fukujuen Uji Cha Kobo berada di tepi Sungai Uji, pinggiran kota Kyoto, sekitar 600 kilometer dari ibu kota Jepang, Tokyo. Dari Tokyo ke Kyoto, kami naik kereta cepat Shinkansen yang super mulus itu langsung dari stasiun di bawah Bandara Narita, Tokyo.

Sungai Uji sangat deras berombak, bergelora, berwarna biru gelap seperti laut, dan air yang jernih, menandakan kualitas lingkungan yang amat baik. Di tepi tanggul modern dan susunan batu batuan basaltik hijau biru yang ditata seperti sebuah taman, pusat kerajinan teh dan pot keramik Fukujuen Uji Cha Kobo itu berlokasi.

Teh tradisional

Memijat teh dulu merupakan bagian dari proses produksi industri teh tradisional Jepang, yang di negeri ini disebut ocha. Kini, memijat teh masih dilakukan untuk pendidikan dan pariwisata. Hanya saja, tidak seperti tradisi di negeri lain yang ditinggalkan generasi muda, diabaikan dan terkikis, memijat teh masih dilakukan di Jepang. Bengkel seni Fukujuen itu mencantumkan kelas memijat teh untuk pengunjung, yang tidak hanya dikunjungi turis, tetapi juga warga Jepang sendiri. Apakah, misalnya, masih ada kursus menari Jawa dan gamelan di Jakarta yang diikuti anak muda Jakarta?

Sebagaimana negeri Timur lain, tempat masyarakatnya senantiasa mengenal paham kesatuan manusia-alam, mikrokosmos-makrokosmos, di Jepang juga senantiasa ada dimensi spiritual dalam aksi dan keputusan keseharian masyarakatnya. Memijat teh pun dilandasi tradisi dan upacara spiritual yang disebut chado atau literatur Barat menyebutnya the way of tea, jalan teh.

Sulit menemukan penjelasan singkat tentang ini. Tea master atau ahli teh yang mengajari memijat teh, Kozawa, seorang pria berumur 70-an berbadan besar dengan otot-otot yang liat, menjelaskannya dalam bahasa Jepang yang gagal kami mengerti. Sebaliknya, kami semakin terkesan dengan kepribadiannya yang berwibawa, menimbulkan imajinasi: teh, Kozawa, dan bengkel pijat teh ini serupa silat dan guru silat di padepokan silat di Jawa.

Namun, kemudian ocha instructor kami (pengajar teh), Yasuhi Ro ”Hachi” Nasu, yang menyertai rombongan kami membisikkan penjelasan sederhana bahwa chado lebih kurang bermakna ”menghibur tamu dengan teh”.

Orang menggunakan teh dalam banyak kebiasaannya, kata Bu Nanny, yang sudah 30 tahun tinggal di Jepang karena bersuamikan warga Jepang. Ia bercerita pernah punya tetangga yang menurut dia, orang yang sulit. Baru setelah tiga tahun bertetangga, akhirnya si tetangga mengajak minum teh. Itulah posisi teh sebagai instrumen budaya di Jepang, mendamaikan ketegangan hanya dengan ajakan minum teh.

Memijat teh sebuah tahapan dalam pengolahan dalam rantai dan ragam produksi teh. Akhirnya tampak, memijat merupakan tindakan pascapanen, jika ditinjau dari ilmu budidaya pertanian, semacam menjemur dan membolak-balik gabah bagi petani padi di Jawa. Memijat teh dilakukan di atas meja yang dipanasi dengan tungku di bawahnya dan alas kertas di atasnya. Ini bertujuan untuk menghindari oksidasi atau pembusukan.

Pemijatan dilakukan benar dengan meremas rajangan daun teh di atas meja. Dua telapak tangan meremas, lalu mempertahankan agar serat daun senantiasa bertahan searah, sampai daun yang semula segar hijau menjadi kaku kering dan siap diproses lebih lanjut sebagai bahan minum teh.

Pada proses selanjutnya, teh hasil pijatan ini dimasukkan dalam grinder, batu penggilas. Batu ini mirip dengan batu penggilas jagung dan kopi pada petani Jawa, yaitu dua batu besar diputar menurut poros lalu teh dimasukkan di tengah melalui lubang. Teh akan keluar dalam bentuk serbuk di tepian batu. Serbuk ini tinggal diseduh dengan air panas mendidih, dan harap maklum karena di Jepang, airnya dijerang dengan termos listrik yang ada alat pengontrol suhu.

Selama proses memijat teh itu, pemijat sekaligus melakukan proses seleksi mutu karena pucuk daun teh dari tanaman budidaya teh itu dipilin dengan dua telapak tangan dalam gumpalan besar sehingga pada akhir proses akan dihasilkan serabut teh seukuran jarum jahit, dengan kadar air yang sudah jauh berkurang.

Memijat teh dilakukan 3-5 jam di atas tungku panas yang akan membuat pemijatnya berkeringat sehingga butuh alasan spiritual untuk memotivasi tradisi pemijatan yang sudah berlangsung 800 tahun lalu. Jawabnya karena teh semula adalah obat. Teh bukan minuman konsumsi biasa ketika dibawa ke Jepang oleh para pendeta Zen Buddhisme dari China, demikian kata sumber pustaka.

Akar budaya lain

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Malang Dreamland, Wisata Keluarga Favorit dengan Pemandangan Hijau

Malang Dreamland, Wisata Keluarga Favorit dengan Pemandangan Hijau

Jalan Jalan
WSL Nias Pro 2024 Digelar, Targetkan Gaet 30.000 Wisatawan Domestik

WSL Nias Pro 2024 Digelar, Targetkan Gaet 30.000 Wisatawan Domestik

Hotel Story
Pengalaman ke Pasar Kreatif Jawa Barat, Tempat Nongkrong di Bandung

Pengalaman ke Pasar Kreatif Jawa Barat, Tempat Nongkrong di Bandung

Jalan Jalan
Libur Panjang Waisak 2024, KAI Operasikan 20 Kereta Api Tambahan

Libur Panjang Waisak 2024, KAI Operasikan 20 Kereta Api Tambahan

Travel Update
Pasar Kreatif Jawa Barat: Daya Tarik, Jam Buka, dan Tiket Masuk

Pasar Kreatif Jawa Barat: Daya Tarik, Jam Buka, dan Tiket Masuk

Travel Update
Berkunjung ke Pantai Nangasule di Sikka, NTT, Ada Taman Baca Mini

Berkunjung ke Pantai Nangasule di Sikka, NTT, Ada Taman Baca Mini

Jalan Jalan
10 Wisata Malam di Semarang, Ada yang 24 Jam

10 Wisata Malam di Semarang, Ada yang 24 Jam

Jalan Jalan
Tanggapi Larangan 'Study Tour', Menparekraf: Boleh asal Tersertifikasi

Tanggapi Larangan "Study Tour", Menparekraf: Boleh asal Tersertifikasi

Travel Update
Ada Rencana Kenaikan Biaya Visa Schengen 12 Persen per 11 Juni

Ada Rencana Kenaikan Biaya Visa Schengen 12 Persen per 11 Juni

Travel Update
Kasus Covid-19 di Singapura Naik, Tidak ada Larangan Wisata ke Indonesia

Kasus Covid-19 di Singapura Naik, Tidak ada Larangan Wisata ke Indonesia

Travel Update
Museum Kebangkitan Nasional, Saksi Bisu Semangat Pelajar STOVIA

Museum Kebangkitan Nasional, Saksi Bisu Semangat Pelajar STOVIA

Travel Update
World Water Forum 2024 Diharapkan Dorong Percepatan Target Wisatawan 2024

World Water Forum 2024 Diharapkan Dorong Percepatan Target Wisatawan 2024

Travel Update
Tebing di Bali Dikeruk untuk Bangun Hotel, Sandiaga: Dihentikan Sementara

Tebing di Bali Dikeruk untuk Bangun Hotel, Sandiaga: Dihentikan Sementara

Travel Update
Garuda Indonesia dan Singapore Airlines Kerja Sama untuk Program Frequent Flyer

Garuda Indonesia dan Singapore Airlines Kerja Sama untuk Program Frequent Flyer

Travel Update
5 Alasan Pantai Sanglen di Gunungkidul Wajib Dikunjungi

5 Alasan Pantai Sanglen di Gunungkidul Wajib Dikunjungi

Jalan Jalan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com