Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Batubara, Geliat Kota Sawahlunto

Kompas.com - 03/04/2013, 03:39 WIB

Tembok kusam di belakang Balai Pendidikan dan Latihan Pertambangan Sawahlunto, Sumatera Barat, dibiarkan apa adanya. Pecahan tajam botol kaca masih menancap pada tembok berusia ratusan tahun itu. Tidak jauh dari situ, pintu terowongan yang semula menganga lebar kini ditutup beton.

Dinding tembok penuh pecahan kaca itu berada di kaki bukit kecil, yang kini digunakan sebagai kantor diklat oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Tahun 1850-an, Belanda menjadikan lembah di kaki bukit itu sebagai tempat memenjarakan pekerja paksa yang dipekerjakan di tambang batubara. Mereka menyebutnya orang rantai.

Di depan tembok terdapat halaman luas. Di seberangnya lagi ada tembok kusam dengan lubang pintu melengkung. Dari celah lubang terlihat bangunan baru yang dipakai untuk memberi pelatihan bagi petambang muda.

Saat menyusuri halaman itu, mata tak lepas dari tonjolan pecahan kaca di tembok. Seperti ada keingintahuan yang menggerakkan, ujung-ujung jari mencoba meraba-raba pecahan kaca itu. Jari-jari tak mampu mencengkeram ketika mencoba mengangkat badan. Ada rasa perih.

Terlintas dalam benak, tangan siapakah yang pernah terkoyak oleh pecahan kaca ini? ”Tembok ini dipasangi kaca supaya tahanan tidak lari. Mereka yang gagal melarikan diri, bakal disiksa lebih berat,” kata Fahrie Ahda, sejarawan yang menemani kami berkeliling Kota Sawahlunto.

Inilah sepenggal kisah yang diwariskan Sawahlunto, kota tambang yang menyimpan banyak sejarah. Kota kecil di ceruk pegunungan Bukit Barisan Sumbar ini mencoba bangkit kembali dari ”kematiannya” setelah PT Bukit Asam, perusahaan tambang terbesar, memindahkan eksplorasinya ke tempat lain menjelang tahun 1998.

Ketika ditinggalkan PT Bukit Asam, perekonomian di Sawahlunto mendadak terhenti. Denyut kehidupan mulai kembang kempis dan Sawahlunto terancam menjadi kota mati.

Yusnarni (45), warga Sawahlunto yang berjualan minuman di sekitar Hotel Ombilin, menuturkan, warung makan, kios, dan toko kelontong banyak yang tutup karena tak ada pembeli.

Pasar Oesang yang kini dikenal sebagai Pasar Remaja yang biasanya ramai pada pagi dan sore hari sama sekali sepi. Tidak ada lagi celoteh pedagang dan pembeli di pasar itu. ”Kalau sore pasar malah dipakai untuk bermain bulu tangkis atau sepak bola,” kata Yusnarni.

Medi Iswandi yang kini menjadi Kepala Dinas Pariwisata Sawahlunto ingat, ketika pertama kali datang ke kota itu pada 1998, Sawahlunto gelap gulita. Pendar lampu listrik hanya ada di beberapa tempat. Tak banyak warung atau kios di sana. Tingkat kriminalitas juga tinggi karena penduduknya tidak memiliki pekerjaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com