Oleh Aryo Wisanggeni, Nur Hidayati, Helena Nababan
KENANGAN soal ”enak” kerap tak sebatas jejak rasa di lidah, tetapi juga kerinduan akan suasana, masa, dan cerita. Suasana, masa, dan cerita kerap kali menuntun langkah kaki ke pasar-pasar tradisional di Solo dan Yogyakarta.
"Kupate sithik wae (ketupatnya sedikit saja),” ujar Kristinawati (57). Yanti (36), si penjual cabuk-rambak di lorong Pasar Gede, Solo, mengiyakan. Ia lalu menaruh lima-enam irisan tipis ketupat di pincukan daun pisang. Saat Yanti menyiramkan adonan bumbu wijen kehitaman ke atas irisan ketupat itu, Kristinawati tersenyum-senyum seperti gemas.
Yanti menaruh karak, atau kerupuk berbahan beras, dan melengkapi racikan cabuk-rambaknya dengan irisan daun jeruk. Pincuk pun berpindah tangan. Tanpa ba-bi-bu, perempuan yang sehari-hari tinggal di Surabaya itu menyantapnya.
”Saya kalau balik ke Solo dan tidak makan cabuk-rambak rasanya ada yang aneh. Ini makanya ke pasar dan pengin merasakan lagi makanan masa kecil saya,” ujarnya sambil mencocolkan karaknya ke adonan wijen. Kenikmatan membayang di wajahnya.
Tampilan dan isi cabuk-rambak sungguh remeh, sederhana. Potongan ketupat, siraman adonan wijen, karak, sudah! Cara Yanti berdagang pun sesederhana dagangannya, cukup ndeprok alias duduk asal di salah satu lorong pasar, di depan salah satu los penjual pakaian. Para pembelinya, termasuk Kristinawati, harus makan sambil berdiri di tengah kegaduhan percakapan pasar yang saling bersahutan.
Sesekali, pemikul barang melintas dan meminta para pembeli cabuk-rambak Yanti minggir. Orang berlalu-lalang tanpa henti, tetapi Kristinawati tetap lahap menikmati jajan pasarnya. Cabuk-rambak tiba-tiba jadi urusan penting setelah ia memutuskan mengikuti suaminya pindah ke Surabaya saat ia berumur 22 tahun. ”Saya sudah 35 tahun tinggal di Surabaya, ya tidak pernah menemukan masakan seperti ini,” ujarnya.
Sejarah panjang
Ada beragam orang yang memburu santapan lezat di pasar-pasar tradisional di Solo dan Yogyakarta. Yati (53), pedagang pakaian di Pasar Pringapus, Semarang, berpuluh-puluh tahun menjadi pelanggan tengkleng Sulistri di gapura Pasar Klewer, Solo. Gara-garanya, tiap dua pekan sekali ia harus ke Pasar Klewer untuk kulakan dagangan.
”Ya, tiap kulakan pasti mampir ke sini,” kata Yati. Ia tak seberapa menghiraukan ajakan bicara, seperti sedikit cemas bakal kehabisan tengkleng Sulistri yang memang biasa tandas dalam waktu satu jam.
”Untingannya masih?” tanya Yati memesan tulang kaki kambing bersumsum yang gurih.
Sulistri mengaduk-aduk panci keduanya, mencari-cari tulang kaki kambing tersisa untuk memenuhi pesanan Yati.
Belum lagi tulang kaki kambing ditemukan, Yati menambah pesanan. ”Itu, itu, campur-campurnya jadikan tiga pincuk, ya. Untingannya juga jadikan tiga pincuk,” kata Yati. Begitu pesanannya terbungkus lengkap, barulah ia mengajak bercanda pembeli lain, bercakap ramah dengan sesama pembeli yang sama-sama berdiri mengantre. Berdesakan mereka mengerumuni panci-panci tengkleng Sulistri yang kosong dengan cepat.
Ia tersenyum bingung saat ditanyai apakah dirinya tahu nama Sulistri, penjual tengkleng langganannya berpuluh-puluh tahun itu. ”Kenal? Ya, hanya kenal wajahlah,” bisik Yati, disusul tawa.
Pasar tradisional di pusat-pusat kekuasaan empat wangsa ahli waris takhta Mataram memang menjanjikan berbagai kuliner ”asli” kawula. Di sekitar pasar, selalu ada warung atau lapak penjual makan yang kondang sejak puluhan tahun, seperti tengkleng Sulistri.
Sari, peracik Gado-gado Bu Hati-Generasi Ketiga, adalah salah satu ahli waris sejarah para penjaja hidangan lezat di Pasar Beringharjo, Yogyakarta. ”Menulis namanya harus lengkap, ya, pakai ’generasi ketiga’,” ujar Sari menegaskan.