Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gula Kelapa dan Citarasa Jawa

Kompas.com - 03/06/2013, 08:04 WIB

”Terlalu manis”. Dua kata itu kerap terdengar tiap kali membicarakan masakan Solo dan Yogyakarta. Entah itu gudeg, brongkos, baceman, dan banyak lagi. Padahal, lidah Solo dan Yogyakarta tak sepenuhnya sama. Semua gara-gara gula kelapa.

Asap tipis yang mengepul dari sepiring nasi di tangan Parjimah (57) makin tak terlihat begitu separuh nasinya tertutupi beberapa sendok gudeg nangka berwarna coklat tua. Dari sela-sela sebaskom besar gudeg nangka coklat tua itu, Parjimah memungut sebutir telur bebek yang sewarna dengan gudegnya. Warna gara-gara gula kelapa.

”Tambah tempe?” Parjimah menawarkan. Anggukan si pelanggan segera diikuti tangan Parjimah menaruh tempe di sajian gudeg yang disiapkan. Lagi-lagi tempe yang berwarna coklat tua, bahkan berwarna lebih gelap ketimbang gudeg nangkanya. Lagi-lagi, warna itu gara-gara gula kelapa.

Lalu, ini yang ditunggu-tunggu.... Parjimah menuangkan areh, karamel santan coklat yang berkilau keemasan oleh minyak kelapanya. Buat penikmatnya, enak tidaknya gudeg selalu diukur dari seberapa lezat arehnya. Warung Gudeg Mbok Marto di emper Jalan Kranggan, Yogyakarta, itu termasuk satu dari beberapa penjual gudeg yang arehnya membuat rindu.

Suapan pertama, gurih dan manisnya areh licin membalur lidah. Nasi putih hangat, gudeg nangka, kenyalnya telur bebek, dan areh kaya minyak blondo (kerak santan). Pagi yang sedap di warung tenda Parjimah, nyamleng kata orang Jawa. Itu adalah ungkapan superlatif yang mengacu pada puncaknya rasa: paripurna.

Tarlen Handayani (36), seorang Jawa yang lahir dan besar di Bandung, sempat merasakan kembali ”trauma” saat akan menjajal gudeg Mbok Marto, Rabu (29/5/2013). ”Ternyata rasa manisnya tak semanis gudeg yang pernah saya cicipi. Paslah untuk gudeg dan untuk lidah saya yang telanjur terbiasa dengan masakan Sunda dan masakan peranakan,” katanya lega.

Asal tahu saja, Tarlen bahkan merasa opor ayam masakan ibunya (sang ibu lahir di Magelang dan lama tinggal di Yogyakarta) terlalu manis untuk lidahnya. ”Sebenarnya kalah manis dari gudeg. Namun, opor ayam itu selalu terasa manis dan terlalu berbumbu. Ibu saya setia dengan segala macam bumbu masakan Jawa. Sampai saya berumur 17 tahun, setiap bulan datang kiriman paket sekardus gula kelapa dari bibi di Yogyakarta,” ujar Tarlen tertawa.

Bumbu utama

Selain gula kelapa, ada berpuluh bumbu lain yang menggiring citarasa masakan Jawa. Orang Jawa punya jembatan keledai untuk menghafalkan bumbu yang biasa hadir, yaitu ”jurus dasar” pasangan bumbu: brambang-bawang (bawang merah dan bawang putih), salam-laos (daun salam dan lengkuas), pete-rese (petai dan rese), lombok-trasi (cabai dan terasi), atau pala-merica (pala dan lada) dan gula-uyah (gula kelapa dan garam).

Seperti bersilat, memasak pun kerap kali butuh kembangan jurus yang ”menyimpangi” jurus dasarnya. Tempe bawang-uyah (tempe goreng berbumbu bawang putih dan garam) tak pernah menyertakan bawang merah dan gula kelapa dalam racikan bumbunya. Lada kerap dipakai tanpa ditemani pala, tetapi pala hampir pasti disertai lada.

Meski begitu, ”jurus dasar” itu, ditambah gurihnya gula kelapa, berlaku cukup umum dalam membumbui berbagai masakan kawula Jawa. Dalam deretan khazanah santapan Kesultanan Yogyakarta, ayam kodok dan semur glatik sama-sama mempertemukan pala dan lada sebelanga. Dendeng ragi, glendoh piyik, atau sate telur, meramu-satukan daun salam dan lengkuas. Kelima masakan di atas juga memakai gula kelapa sebagai bumbunya (Murdijati Gardjito dkk, 2010).

”Masakan tradisional Jawa yang tidak berbumbu gula kelapa?” Sumartoyo bertanya balik. Ia tercenung satu-dua detik, mereka-reka taksirannya. ”Rasa-rasanya, 80 persen masakan Jawa memakai gula kelapa sebagai bumbunya,” ujar Sumartoyo yang juga General Manager Bale Raos, sebuah restoran di Magangan Keraton Kesultanan Yogyakarta.

”Baceman, brongkos, lodeh, semur, sambal urap-urap trancam semua memakai gula kelapa. Gula kelapa itu seperti santan, hadir di semua santapan. Satu-satunya sayur tak bersantan hanya sayur bening, itu pun di Yogyakarta pasti berbumbu gula kelapa sehingga warna kuahnya bening kecoklatan. Bistik dan kuliner pengaruh Eropa lainnya tidak memakai gula kelapa,” tutur Sumartoyo tertawa.

Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, menyebut, keberadaan gula kelapa sebagai bumbu utama masakan Jawa tidak lepas dari melimpahnya ketersediaan gula kelapa. ”Di masa silam, pemanis rasa yang dikenal hanya gula kelapa. Gula tebu itu barang baru,” ujarnya.

Bedanya Solo

Di antara semua masakan manis itu, gudeg kerap ”dikeluhkan” sebagai yang termanis dari yang serba manis. Di dapur Parjimah, untuk memasak 200 butir telur pelengkap gudeg, dibutuhkan tidak kurang dari 1 kilogram gula kelapa ditambah dua cakup tangan garam.

Untuk memasak 25 kilogram nangka cacah menjadi gudeg, dibutuhkan 4 kilogram gula kelapa. ”Saya mewarisi resepnya dari ibu saya, Mbok Marto Setomo, takarannya seperti itu. Saya tidak berani mengubahnya. Kalau saya memasak gudeg, telur, juga lauk lainnya, sehari menghabiskan 12 kilogram gula kelapa,” tutur Parjimah.

Biarpun juga menjadikan gula kelapa sebagai bumbu hampir tiap masakan, takaran manis orang Solo cenderung lebih tawar dari orang Yogyakarta. Itu terasa saat menyantap gudeg di Warung Gudeg Bu Mari di Singosaren, Solo. Gudeg Bu Mari, dengan warna gudeg yang lebih cerah dari kebanyakan gudeg Yogyakarta, lebih menonjolkan rasa gurih ketimbang manis.

”Yang paling membedakan gudeg Yogya dan Solo, ya, rasa manisnya. Di Solo, gudeg lebih kuat gurihnya,” ujar Atik yang mewarisi warung gudeg ini dari ibunya, Bu Mari. Jika gudeg nangka Mbok Marto hanya berbumbu gula dan garam kasar, gudeg Bu Mari dimasak dengan bumbu bawang putih, ketumbar, dan sedikit lada, garam, dan tentu saja gula kelapa.

Masakan rumahan Solo pun punya kadar manis yang tak sekuat masakan rumahan Yogyakarta. Sayur loncom atau sayur bening bayam, misalnya, di Solo dimasak tanpa gula kelapa.

”Kalaupun pakai gula, ya, dicolok sedikit gula pasir. Manisnya samar, lebih dominan gurih asin kalau sayur bening Solo,” ujar Ida Hayati (50), ibu rumah tangga yang sehari-hari memasak untuk keluarganya di Solo.

Sumartoyo menyebutkan, posisi gula kelapa sebagai bumbu masakan Jawa tak bisa digantikan gula tebu. ”Bukan sekadar manis, gula kelapa juga memiliki rasa gurih. Pakem citarasa manis dalam masakan tradisional Yogyakarta dan Solo tidak ada kaitannya dengan gula tebu atau gula pasir,” ungkapnya.

Kini, semakin banyak orang Yogyakarta dan Solo yang mulai mengganti manis-gurihnya gula kelapa dengan gula tebu. Namun, banyak pula yang merasa gula kelapa tak tergantikan. ”Kalau tidak menggunakan gula kelapa, masakan pasti cemplang, hambar,” ungkap Murtini, pedagang besar gula merah di Pasar Beringharjo, Yogyakarta.

Manis, asin, gurih, boleh saja. Namun, soal rasa, hanya ada satu kata: nyamleng.... (Nur Hidayati, Aryo Wisanggeni, Helena Nababan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com