Gamelan Kiai Guntur Sari dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) di Mataram, ditempatkan di bangsal sebelah utara. Kiai Guntur Madu dibuat pada masa pemerintahan Paku Buwono IV (1788-1820) di Kasunanan Surakarta, mendapat tempat di bangsal selatan. Kedua set gamelan hanya dimainkan saat sekaten, yakni sepekan sebelum hajad dalem berupa kirab gunungan, sehingga gamelan itu disebut gamelan sekaten.
Gamelan itu dimainkan oleh abdi dalem pengrawit sejak pukul 10.00 hingga pukul 24.00 setiap hari selama tujuh hari. Mereka hanya beristirahat pada saat azan. Saat paling unik adalah ketika gending yang dimainkan akan berakhir berpadu dengan suara beduk dan lantunan azan dari menara masjid.
Bukan perkara mudah memadukan konsentrasi dalam memainkan gamelan dengan mempertahankan stamina. Sebab, harus bermain dari pagi hingga malam hari walaupun disediakan pemain ”cadangan” yang dapat menggantikan pengrawit yang kelelahan atau berhalangan untuk hadir penuh.
Yadi (65), yang bergelar Mas Lurah Yadipangrawit, sudah 23 tahun menjadi abdi dalem di Keraton Surakarta. Tugasnya adalah kebayan yang memastikan tabuh gamelan berjalan lancar, misalnya soal kebutuhan logistik pengrawit. Jika ada yang kelelahan atau tak hadir, ia harus bermain.
Pengrawit mendapatkan honor Rp 15.000 untuk satu sesi bermain, yakni mulai pukul 10.00-12.00, 13.00-18.00, atau 20.00-24.00. Jika tiga kali bermain, mereka membawa pulang Rp 45.000 per hari. ”Honornya dibayarkan setiap sore. Untuk gaji bulanan, abdi dalem malah sudah setahun terakhir tak terima karena sedang ada ribut-ribut di keraton,” kata Yadi, pekan lalu.
Ia seharian berada di bangsal. Dari rumahnya di Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jateng, Yadi berangkat ke Masjid Agung pukul 08.00 dengan mengendarai sepeda motor. Ia baru kembali ke rumah pukul 01.00.
Meski hanya mendapat honor kecil, yang tampak tidak seimbang dengan waktu, tenaga, dan pikiran yang dikeluarkan, tetapi Yadi tetap merasa senang, terutama jika banyak yang menonton. Perhatian dari penonton menjadi bahan bakar semangat para pengrawit.
Kadang jika terasa lelah, Yadi minum air rendaman kembang sesaji yang terletak di dekat gong. Hal ini ditirunya dari pengrawit terdahulu yang melakukan hal serupa. Beberapa penonton juga meminta air kembang setelah gending selesai dimainkan.
Kanjeng Raden Aryo (KRA) Saptodiningrat, sebagai thindih atau ketua kelompok pengrawit Keraton Surakarta, menuturkan, yang dilakukan abdi dalem lebih banyak pengabdian. Mereka lebih banyak mengharapkan berkah dari apa yang dilakukan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.