Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/03/2014, 17:39 WIB
Ade ne onyak-maik pendait bai si lemak mudi

(Apa yang kita lakukan hari ini agar mendapatkan kebaikan buat anak-cucu kelak...)

”Bismillaahirrahmaanirrahiim…” ujar H Bustahar. Lalu mulutnya komat-kamit seraya menaburkan beras kuning dan bunga-rampai ke arah rantok (antan).

Maming, perempuan di samping Bustahar, kemudian belawas (menyanyi) tentang puja-puji terhadap Sang Khalik dalam bahasa Sasak, Lombok. Lewat nyanyian, Maming memohon agar apa yang dilakukan generasi hari ini akan menjalar sebagai kebaikan pada masa datang.

Semua penonton bergeming. Dalam keheningan suara Maming ditingkahi suara seruling. Suasana bertambah magis setelah cahaya lampu menimpa tubuh-tubuh para penampil. Itulah sekelumit ritual dalam pertunjukan kesenian rantok sebagai acara pembuka Gebyar Musik NTB di Taman Budaya NTB, Mataram, Nusa Tenggara Barat, beberapa pekan lalu.

Dalam acara itu ditampilkan kesenian tiga etnis besar di NTB: Sasak, Samawa (Sumbawa), dan Mbojo (Dompu, Bima), ditambah kesenian etnis lain, seperti reog ponorogo dan barongsai. Kata Dodi Subiantoro, Kepala Pengembangan Mutu Taman Budaya NTB, pentas ini mengangkat kesenian tradisi yang mulai punah, menerima pluralisme dan multikultarisme dalam kehidupan masyarakat, sambil senantiasa merawat budaya yang telah diwariskan nenek moyang.

Salah satu wujud pewarisan budaya itu adalah seni rantok asal Desa Nyiur Lembang, Kecamatan Narmada, Lombok Barat. Rantok (mirip kareko kandai di Dompu dan Bima) adalah seni antan yang dipukulkan pada lesung secara ritmis sehingga menimbulkan bunyi seperti gamelan. Para pemain yang berjumlah 10 orang memukul bagian pinggir rantok, yang dua di antaranya bertugas sebagai dirigen atau pemugah.

Rantok secara fungsional adalah alat kerja untuk menumbuk padi dan ketan yang nantinya setelah berbentuk beras atau tepung diolah menjadi kue wajik, dodol, dan lainnya. Menu makanan ini biasanya dihidangkan saat acara puncak gawe urip, seperti pernikahan dan khitanan.

Dalam kehidupan di pedesaan, bila seorang warga mengadakan acara, beberapa hari sebelum hari puncak, epen gawe (tuan rumah) didatangi para tetangga, tua-muda, untuk ikut membantu bekerja. Jika tuan rumah sudah siap dengan bahan-bahan kuliner, rantok dipukul dengan irama tertentu, disebut rangsangan, bertujuan untuk mengundang warga berkumpul di rumah si empunya hajat.

Seperti acara pembuka tadi, seorang kiai memimpin acara pemeras, ritual memohon doa kepada Sang Khalik agar prosesi acara berjalan lancar hingga selesai. Setelah acara ritual, dimulailah acara menumbuk bahan-bahan kuliner. Suara rantok yang beradu bagaikan ensambel musik penghibur bagi pekerja sekaligus meramaikan suasana di rumah si empunya gawe.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda
28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com