Sebetulnya, festival ini merupakan proyek percontohan yang diprakarsai oleh Creative Public Spaces Program (Program Ruang Publik Kreatif), sebuah usaha untuk menciptakan ruang-ruang fisik untuk publik di seantero kota, baik yang permanen maupun yang temporer. Proyek dan program ini dilakukan lewat kerja sama yang erat bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dan Liveable Cities Task Force sebagai bagian dari Indonesian Diaspora Network.
Dalam rilis yang diterima Kompas.com, Kamis (19/6/2014), festival ini sebenarnya terinspirasi dari berbagai bentuk urban serta dinamika ruang sosial yang sudah berjalan selama ratusan tahun hingga sekarang di ibu kota.
Untuk melancarkan penyelenggaraannya, maka dalam agendanya akan melibatkan komunitas pecinta sejarah, kereta api, seniman jalanan, dan tidak ketinggalan pertunjukan khusus oleh Abang None Jakarta. Penting untuk diketahui, musik sebagai bagian dari ekonomi kreatif juga mendapatkan perannya di festival ini dengan tampilnya beberapa musisi muda berbakat yang telah memperkaya khasanah seni di tanah air. Desainer-desainer muda, suguhan kuliner lokal, hingga beragam komunitas juga akan turut meramaikan festival ini.
Memang, pada dasarnya semangat penyelenggaraan KTCF ini adalah untuk mendorong terciptanya para kreator, arsitek, seniman dan desainer Indonesia yang mampu menjadi sumber daya penggerak untuk memberdayakan ruang publik di Jakarta maupun di kota-kota lain dengan berlandaskan ekonomi kreatif tanpa meninggalkan potensi kekayaan alam dan keanekaragamaan budaya lokal.
“Dalam memasuki era ekonomi kreatif saat ini Indonesia membutuhkan sumber daya manusia yang mampu menjadi penggerak munculnya berbagai industri kecil dan menengah untuk menopang roda perekonomian bangsa,” ungkap salah satu pencetus KTCF, Daliana Suryawinata.
Salah satu kegiatan yang menjadi highlight festival ini adalah Jakarta Old Town Reborn (JOTR) yang menawarkan sebuah masa depan untuk Kota Tua. Ada tujuh tim arsitek dari Belanda dan Indonesia yang diundang untuk bekerja sama dengan pemerintah dan pemilik bangunan untuk menghidupkan kembali enam bangunan bersejarah serta sebuah bidang lansekap di sekitar Kali Besar dan lapangan Fatahilah.
”Kota Tua telah kehilangan jiwanya. Menua dan hampir mati, terdegradasi dan ditinggalkan. Sekitar 182 artefak peninggalan kolonial terbengkalai, dikelilingi oleh lingkungan yang buruk dan berpolusi, dihindari sebagai tempat hidup dan/atau bekerja.” ujar Yori Antar, kurator inisiatif gerakan ini.
Maka dari itu lah, Kota Tua mengadakan loka karya, seminar, debat, kunjungan lahan, bernegosisasi dengan para stakeholder, berkonsultasi dengan aparat pemerintah, dan sepakat dengan sebuah ide ‘archipunctural urban renewal strategy’. Strategi tersebut berfokus kepada enam buah proyek arsitektural yang disebar di beberapa tempat, kemudian dihubungkan oleh sebuah rencana besar lansekap.
Walau skalanya kecil dan berorientasi desain, proyek-proyek ini akan bekerja secara ‘archipuntural’ (architecture dan acupunture) dengan menggalakkan aktivitas-aktivitas baru untuk menghidupkan Kota Tua dan menjadikan kawasan bersejarah tersebut layak ditinggali. Nantinya, proyek-proyek ini diharapkan akan menjadi daya tarik baru bagi Kota Tua untuk melanjutkan narasi urbannya. (*)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.