Kami tiba di permukiman terapung di Desa Sallotengnga, Kecamatan Sabbangparu, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, setelah 45 menit berperahu. Danau Tempe dicapai setelah menyusuri Sungai Wallannae dari dermaga kecil di seberang Hotel BBC tempat kami menginap di Sengkang, pusat kota di Kabupaten Wajo. Dengan perahu bermotor sepanjang 9 meter berkapasitas lima penumpang, perjalanan terasa berayun-ayun.
Rumah panggung dari kayu yang bersisian dengan rumah batu alias rumah berdinding tembok menjadi pemandangan saat menyusuri sungai yang airnya hijau kecoklatan. Nelayan yang tengah jual beli ikan hasil tangkapannya, orang yang sedang mencuci, hingga bengkel mesin perahu di pinggir sungai menjadi santapan pandang selama perjalanan.
Banjir yang tengah melanda lima kecamatan di kabupaten itu melenyapkan tanah dari pandangan. Sawah-sawah di tepi sungai terendam dan hanya menyisakan bulir-bulir padi matang yang hanya bisa merunduk pasrah dalam genangan air. Mereka ditemani burung-burung cewiwih, kana-kana, dan lawase yang terbang rendah, juga bangau putih yang berdiri anggun di ujung bambu pembatas areal sawah.
Di dekat mulut perkampungan yang menghadap ke danau, terpasang tiang-tiang cor semen untuk melindungi rumah-rumah dari empasan eceng gondok yang dapat merobohkan rumah. Beberapa rumah juga memasang rangkaian bambu di depan rumah yang menghadap ke perairan, cara tradisional menghalau terjangan eceng gondok.
Para nelayan biasa pergi memasang perangkap pada pagi atau sore hari dan memeriksa hasil tangkapan pada sore atau pagi berikutnya. Istri-istri mereka bertugas menjual hasil tangkapan atau mengolahnya menjadi ikan asin. Anak-anak yang sudah bersekolah biasanya tinggal di rumah daratan. Seminggu sekali mereka bertemu, baik di rumah terapung maupun daratan.
”Ada 100-an kepala keluarga di desa terapung ini. Dengan adanya rumah terapung, mereka tidak perlu mondar-mandir ke daratan. Paling hanya beberapa hari sekali atau seminggu sekali,” kata H Jamadi, anggota staf Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Kabupaten Wajo sekaligus pemilik perahu motor yang mengantar kami.
Rumah terapung terbuat dari kayu besi dengan gaya rumah panggung seperti halnya rumah di daratan. Bagian bawahnya rangkaian bambu yang membuat rumah dapat mengapung. Posisi rumah selalu berubah mengikuti embusan angin, misalnya siang hari menghadap timur, malam hari sudah menghadap ke selatan. Agar tidak hanyut, rumah biasanya ditambatkan dengan tali ke tiang kayu atau bambu. Jika air tengah surut, rumah-rumah terapung bergerak ke tengah danau. Pada saat banjir, rumah terapung mendekati rumah-rumah di daratan.
”Pernah suatu kali ada badai, tali tambatan putus dan atap beterbangan,” kenang Siti Rabiati (42), salah satu penduduk desa terapung.
Sasaran turis
Rumah Siti menjadi tujuan bagi para turis yang datang, kebanyakan orang asing. Saat kami datang, empat turis dari Italia dan Perancis sudah lebih dulu duduk-duduk menyeruput teh hangat dan makan sanggara alias pisang goreng berbalut tipis tepung beras.
Bagian dalam rumah Siti dibuat lapang tanpa kamar. Di bagian belakang, terdapat dapur yang kondisinya tidak jauh berbeda dari dapur di daratan. Mereka yang ingin merasakan tinggal di rumah terapung dapat menginap dengan tarif tertentu.
Menurut Siti, warga setempat hampir sepanjang waktu bekerja. Jika hasil tangkapan ikan sedang banyak, mereka baru bisa beristirahat pukul 22.00. Meski begitu, warga tetap memperhatikan pantangan, antara lain menangkap ikan pada malam Jumat dan hari Jumat. ”Kalau dilanggar, kami bisa didosa (kena sanksi),” kata Siti yang tinggal di rumah terapung sejak tahun 1990-an.
Sanksinya, pelanggar harus menyelenggarakan upacara maccera tappareng sendirian dengan menyediakan beras ketan 40 liter, pisang nangka 100 sisir, dan telur 100 butir. Tetua masyarakat atau macoa tappareng akan memimpin acara itu. Upacara maccera tappareng biasanya digelar bersama-sama sebagai rasa syukur kepada Yang Kuasa atas limpahan ikan.
Nelayan setempat menggunakan cara tradisional untuk menangkap ikan. Misalnya, memasang pukat sejauh 3 kilometer selama 24 jam. Hasilnya beragam, dari 50 hingga 1.000 ekor sekali pasang. Ada pula tongkang atau jala besar yang digerakkan naik turun dengan dua tiang yang disilangkan. Ada juga jambal, kawat yang dibentuk menjadi kotak perangkap dengan pintu berupa pertemuan ujung lembaran kawat yang dipotong lebih panjang sehingga saling menutup, tetapi masih bisa diterobos ikan. Jambal dipasang di dasar danau di antara bambu-bambu sebagai penahan. Setelah 24 jam, ikan-ikan diharapkan telah masuk dalam perangkap. Sebagian besar tangkapan berupa ikan mujair.
”Harga ikan mujair sekarang Rp 500-Rp 1.500 per ekor,” kata Hj Hasni sambil menyalakan lentera, kaleng bersumbu yang berisi solar.
Aktivitas di kampung terapung ini mirip dengan di daratan. Ada warung, tempat warga bisa membeli gas 3 kilogram, air dalam galon, atau kebutuhan sehari-hari lainnya. Air tawar untuk kebutuhan minum atau memasak dibawa dari daratan.
Tiba waktunya kami kembali karena senja semakin tenggelam. Nelayan masih sibuk menyelesaikan pekerjaan terakhirnya. Pekatnya malam menggantikan pemandangan danau menjadi langit yang bertaburkan bintang. (Sri Rejeki)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.