"Tidak ada unsur menggurui puluhan seniman dari ketiga desa itu berinteraksi dengan Barat melalui seniman Walter Spies (1893-1942) dan Bonnet (1895-1978), seniman warga negara asing yang bermukim di Ubud," tutur pendiri dan pengelola Museum Arma di perkampungan seniman Ubud, Anak Agung Gede Rai, akhir pekan lalu.
Walter Spies, seniman warga negara Jerman yang mengkritisi karya seniman lokal, membuka diri untuk kerja sama teknik, pengetahuan baru tanpa ada kesan saling menggurui.
Proses penggarapan karya seni itu berlanjut terhadap penyeleggaraan pameran lukisan di sejumlah kota di belahan dunia pada zaman penjajahan Belanda. Demikian pula keberadaan Walter Spies, warga negara Belanda melahirkan sumber inspirasi bagi seniman Bali dalam hal mengolah kekayaan alam, sinar matahari Bali, menjadi energi yang hidup.
Ubud yang kini dikenal sebagai desa internasional tempat bertemunya bangsa dari berbagai negara di belahan dunia itu tahun 1920-an telah mengembangkan satu motif wayang baru, di mana pakem ikonografis wayang yang demikian ketat mengurai ke pakem personal. Tema tetap diangkat dari Kisah Ramayana, Mahabrata, namun dalam konsepsi seni ritual seperti rerajahan, tumbal tetap dipertahankan.
Lukisan corak wayang baru itu dirintis oleh Tjokorda Oka Gambir dari Puri Peliatan setelah belajar gambar di Banjarangkan (Klungkung) dan Ketewel (Gianyar). Teknik, warna alam, dan prinsip-prinsip seni lukis Wayang tetap dipegang teguh.
Motif wayang yang dirintis oleh Tjokorda Oka Gambir lebih realistis dengan garis arsiran rapi dan mantap, namun tetap memakai warna alam seperti gambar wayang menghias busana pura dan atribut ritual lainnya seperti parba, tedung, kober dan jempana.
Tjokorda Gambir sempat bagi pengalaman dan pandangan dengan Walter Spies dan Bonnet bahkan sebelum lembaga Pita Maha (1936) dibentuk, sejumlah seniman setempat seperti Baret, Kobot, Turas, Ida Bagus Made dan Gerudug sempat saling belajar di Puri Peliatan.
Almarhum berhasil menggubah citra wayang menurut selera pribadi sehingga melahirkan style Lempad yang sangat personal, anggun, keramat dan berkarakter.
Kepiawaian olah rasa hingga kini tak tertandingi termasuk oleh cucundanya Sudara. Dalam karya, kedua maestro ini sering membubuhkan nama dalam karya, tidak seperti wayang Kamasan yang komunal sifatnya.
Mereka kemudian menjadi guru lokal di wilayahnya masing-masing sehingga lahir berbagai motif wayang Padang Tegal seperti stail Sobrat, Turas, Ketut Ding, Ketut Rungun, Moleh, Pengosekan seperti Wayang Kobot, Baret, Liyer, wayang stail Grudug, Taman dengan tokohnya pelukis Meja .
Guru terbang
Agung Rai mengibaratkan, sosok Bonnet menjadi guru terbang bebas bea bagi pelukis Ubud, mengukuhkan kesenian sebagai "life style", karena secara gigih membimbing pencapaian kualitas karya yang berkarakter dengan memberi panutan bagaimana seorang seniman profesional, terdidik mesti bersikap terhadap kekayaan lokal yang adiluhung.
Dengan demikian ada sekat konotasi fungsi berkesenian kapan ngayah (diamalkan) kapan bayah (dibayar). Rupanya sejak era pesatnya perkembangan pariwisata tahun 1970-an sampai saat ini realita terakhir semakin menyenangkan.
Di antara langkah promosi kekayaan seni budaya Bali yang paling signifikan pengaruhnya terhadap perkembangan seni lukis Bali adalah pameran di Paris, tahun 1931. Beberapa karya lukis Wayang Bali juga misi seni tari Bali (Peliatan Ubud) digelar dalam pameran internasional.
Dalam hal itu misi kesenian Bali mewakili kerajaan Belanda sebelum Indonesia meraih kemerdekan. Gaung kesuksesan pameran Bali membawa pengaruh besar terhadap meningkatkan motivasi Barat untuk mereguk kenikmatan di paradiso Bali.
Bukan saja di kalangan seniman Peliatan Ubud, masyarakat secara keseluruhan merasa bangga atas penghargaan itu. Apalagi diizinkan mendirikan monumen di di halaman masing-masing saat perayaan jubileum (1933) ratu Belanda waktu itu, yang dipandang sebagai prestasi seni semata, tanpa tendensi politis atau lainnya.
Tonggak perubahan sangat menentukan, bukan hanya mengobarkan semangat dalam perkembangan dan perluasan segala aktivitas berkesenian, melainkan sumbangan nyata terhadap kekayaan seni Bali yang dengan apik disajikan lembaran masa berikutnya.
Semua itu patut disyukuri dengan adanya kontribusi Barat seperti Miguel Covarrubias, budayawan Meksiko karya bukunya berjudul "Island of Bali" yang melegenda sebagai buku pengantar dunia wisata ke Pulau Dewata.
Seni rupa tak bisa dipisahkan dari kebudayaan dan Agama Hindu yang dianut masyarakat Bali. "Margaret Mead dan Gregory Bateson adalah antropolog Amerika datang ke Bali tahun 1931 untuk meneliti kebudayaan Bali secara menyeluruh, karakter, kepercayaan, agama lewat seni lukis Batuan," ujar Agung Rai.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.