Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kidung Syukur dari Lereng Slamet

Kompas.com - 12/07/2015, 14:31 WIB
Harmoni

Ritual pengambilan air ini, menurut Samsuri (52), juru kunci Tuk Sikopyah, selalu dilangsungkan tiap bulan Muharam atau Sura dan diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka mensyukuri sumber air ini sebagai air penghidupan warga Purbalingga bagian utara, seperti Desa Serang, Kutabawa, dan Siwarak. Bahkan aliran air itu mengalir hingga wilayah kabupaten tetangga, yakni Pemalang.

”Tiga desa ini (Serang, Kutabawa, dan Siwarak) penghasil sayur dan buah-buahan. Dari hasil bumi, kami hidup. Jadi, selain syukur, tradisi ini menjadi penyambung harmoni antara alam dan manusia,” kata Samsuri.

Bagi warga setempat, Gunung Slamet dianggap sebagai simbol keselarasan alam dan manusia. Selain memberi limpahan kesuburan, gunung yang menjulang gagah itu juga beberapa kali menunjukkan ancaman vulkaniknya.

Tahun 2014, saat status gunung ini sempat mencapai Siaga (level tiga), hampir tiap hari puncak gunung bergemuruh keras. Petani ketakutan. Hal ini, kata Samsuri, menjadi penanda bahwa pada suatu batas tertentu, alam tidak bisa dilawan.

Mengenai mata air Sikopyah, Kepala Desa Serang, Sugito, menjelaskan, sumber air ini adalah satu dari tiga mata air terbesar di lereng Slamet. Dua yang lain merupakan sumber air panas, yakni mata air panas Guci (Tegal) dan mata air panas Baturraden (Banyumas).

Hanya Tuk Sikopyah yang airnya dingin. Ini menyuburkan tanah sehingga hampir semua penduduk bercocok tanam.

Dari cerita turun-temurun, asal mula nama Sikopyah berasal dari legenda Haji Mustofa, salah satu penyebar agama Islam di wilayah itu beberapa ratus tahun silam. Saat tinggal di padepokan Dukuh Kaji milik Ndara Subali, Mustofa suka bertapa di sumber air itu.

Nama Sikopyah berasal dari kata kopyah dalam bahasa Jawa berarti peci atau di tempat lain ada yang menyebutnya songkok atau kupluk. Suatu saat, kopyah Haji Mustofa tertinggal dan hilang di tempatnya bertapa. Dari kejadian itu, Mustofa menamakan tempat tersebut sebagai Tuk Sikopyah.

Walau ritual pengambilan air dari Tuk Sikopyah telah berlangsung turun-temurun, baru tahun ini dikemas menjadi agenda wisata budaya. Generasi muda di lereng timur Slamet melihat, tradisi ini berpotensi menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal dan mancanegara.

”Selain melestarikan tradisi, kunjungan wisatawan juga akan semakin mempromosikan desa-desa di Purbalingga di lereng Slamet sebagai kawasan agrowisata terpadu,” kata Sugito.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com