Melalui sebuah tradisi kupatan yang diadakan setelah Lebaran, mereka saling meminta maaf kepada sesama begitu juga kepada alam. Sejak siang, ratusan warga dari Desa Tegaldowo, Timbrangan, dan Biting berkumpul mengikuti kupatan Gunung Kendeng di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Rabu (22/7/2015).
Sebuah syukuran sederhana diadakan di lahan kosong yang tidak terlalu luas dengan menyajikan tiga gunungan kupat. Sementara ratusan warga duduk bersila melingkar mengitari Gus Ubaidillah Ahmad dan Gus Gufron, ulama, yang secara bergantian memimpin salawat.
Di atas panggung bambu, Gus Gufron melantunkan tembang-tembang Jawa yang mengisahkan kehidupan petani. Bagaimana petani yang akan kehilangan lahan garapan, sawah tidak lagi subur, dan musnahnya gunung. Datangnya bencana itu juga kian dirasakan Sukinah, warga, beserta ratusan warga di lereng Gunung Kendeng lainnya.
Sukinah memaknai tradisi kupatan yang dilaksanakan saat ini tidak hanya memperbaiki hubungannya dengan sesama, tetapi juga dengan alam. ”Dulur-dulur (saudara-saudara saya) setiap Lebaran sudah saling memaafkan, tapi untuk alam semesta tidak pernah dilakukan,” kata Sukinah.
Beras untuk mengisi selongsong ketupat mereka kumpulkan dari hasil panen di lahan sawah sekitar desa. Air untuk menanak nasi diambil dari mata air di lereng karst Gunung Kendeng. Prosesi pembuatan 3.150 ketupat dilakukan semalaman.
Sukinah mengibaratkan bahwa bumi beserta tanahnya telah membuat kenyang dan air bisa menghidupi saat kemarau datang. Keterikatan dengan semesta itulah yang menyatukan warga menggelar ketupatan secara swadaya.
Menjelang sore, seusai berdoa warga mengarak gunungan ketupat berkeliling desa. Potongan ketupat yang dibawa dengan tenggok (wadah dari bambu) dibagikan ke setiap rumah yang mereka lalui. Ratusan lembar pamflet berisi ajakan melindungi kawasan Gunung Kendeng dari penambangan turut disebarkan.
Di antara ratusan warga tampak Wasinah, warga, menggendong cucunya berjalan pelan mengikuti rombongan dari belakang. Tangan kanannya menggenggam ketupat untuk dibagikan kepada siapa saja yang ditemui.
”Semua saya beri ketupat, tidak membedakan sedulur yang membela Kendeng atau dulur pro-semen,” ucap Wasinah. Karena kehadiran pembangunan pabrik semen dirasakan juga turut memecah tali silaturahim antarwarga atau sanak saudara.
Memang dalam setahun ini sebagian warga Desa Tegaldowo diselimuti kekhawatiran yang mendalam. Gunung Kendeng yang menjadi beranda belakang desa mereka akan dikeruk untuk kepentingan pabrik semen.
Tanpa putus mereka terus menolak rencana penambangan Gunung Kendeng. Lelah, jenuh dengan ketidakpastian telah mereka hadapi hingga kini. ”Perjuangan kami mengalir seperti air kadang deras, surut pelan, dan terbentur, tapi saya yakin kejujuran pasti akan datang pada waktunya,” ucap Sukinah sembari menerawang.
Kehadiran para ulama dari pondok pesantren yang turut mengantarkan doa dan salawat warga menjadi percikan yang sejuk di tengah udara panas Rembang. Gus Ubaidillah Ahmad mengatakan, gerakan warga muncul bisa dari perspektif agama dan kebudayaan tanpa harus mengorbankan aspek kemanusiaan.
”Saya kuatkan bahwa di Rembang akan terjadi bahaya yang luar biasa, rusaknya aspek keberagaman dan kebudayaan masyarakat. Contoh kecil industri belum berdiri, di masyarakat sudah terjadi klasifikasi antara pro dan tolak,” ujarnya. (WEN)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.