Penelitian
Peniup trompet itu bernama Ayi Ruhiyat. Ia adalah pemimpin Pedepokan Linggar Manik di Kampung Dukuh I, Desa Sadawarna, Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang. Setelah perkenalan singkat, ia mengajak mendatangi pedepokannya di Kampung Dukuh, berjarak sekitar 15 kilometer dari pusat kota Subang.
Sejak 2012, pedepokan menjadi tempat berlatih bersama 10 anggotanya. Keterbatasan biaya membuat pedepokan itu juga digunakan Ayi untuk tempat tinggal bersama enam anggota keluarganya.
Sulit menyebut bangunan berukuran 140 meter persegi yang terbagi dalam dua ruangan itu sebagai pedepokan seni. Di salah satu kamar, kecapi, trompet, dan peralatan pelantang suara campur aduk dengan pakaian, kasur, hingga perabotan rumah tangga.
Di dinding yang retak, beberapa piagam penghargaan terpasang di balik pigura kaca yang mulai kusam. Tak ketinggalan, foto penampilannya di Singapura sekitar empat tahun lalu terpampang meski warnanya mulai pudar.
”Jelek-jelek begini, banyak mahasiswa datang untuk penelitian, skripsi, hingga tesis,” kata Ayi yang piawai melantunkan pantun Sunda.
Duduk di depan ayahnya, Jaban Nata Sidik Permana (21), anak sulung Ayi, tak banyak bicara jika tidak ditanya. Nasibnya tidak lebih baik dari ayahnya.
Tiga kali juara ajang pencarian bakat di beberapa televisi swasta, lewat kemampuannya meniup trompet, seperti tak berbekas. Hidupnya lebih banyak ditopang berjualan cakue.
”Saya berjualan cakue agar bisa membiayai hidup anak dan istri. Dari cakue, saya mendapat Rp 300.000 per bulan atau tiga kali lipat dari main trompet. Kekurangannya diisi lewat honor dari panggung ke panggung,” kata Jaban.
Setia
Malam baru saja datang, Asep Riki (24) tiba di tempat kerjanya di salah satu bank swasta di kawasan Kebon Jukut, Kota Bandung, Selasa (1/12/2015). Butuh sejam dari rumah di Cinunuk, Bandung, untuk menjalani rutinitas pekerjaannya sejak empat tahun terakhir.
Dia menjadi anggota satuan pengamanan (satpam) untuk membiayai hidup lima anggota keluarganya.