”Sejak 2006, saya bergabung di Lingkung Seni Reak Kuda Lumping ’Tibelat’ Cibiru dan memainkan dogdog (alat musik pukul Sunda),” katanya.
Pemimpin Tibelat, Enjang Dimyati alias Abah Jum, mengatakan, Asep adalah masa depan reak Cibiru di kemudian hari. Kemauan belajarnya sangat tinggi. Dari 30 anak muda yang pernah dilatihnya, tinggal Asep yang bertahan.
”Reak sudah dibawanya ke panggung lokal, nasional, dan internasional. Terakhir, ia tampil di hadapan 10 kurator seni berbagai negara di Cigondewah, Kota Bandung. Dia selalu fokus meski beban hidupnya tidak ringan,” kata Enjang.
Asep mengatakan, sejauh ini pilihannya menggeluti reak memang jauh dari gelimang rupiah. Bayaran dari reak tiga kali lipat lebih kecil ketimbang pekerjaannya sebagai petugas satpam.
Ada harapan reak semakin mendunia, Asep tidak pernah bermimpi reak akan membuatnya kaya raya. Asep cukup bahagia saat punya andil menjaga reak, warisan budaya Nusantara itu, tetap ada.
”Silakan selami ilmunya, jangan sibuk cari uangnya,” kata Asep mengulang pesan orangtuanya apabila Asep ingin menekuni seni.
Mereka mungkin hanya bagian kecil dari kisah kebudayaan bangsa ini. Namun, kisah mereka perlahan menjadi inspirasi. Tangan-tangan kecil itu membawa pesan tentang indahnya Nusantara. (Cornelius Helmy)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.