Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ki Sawiyah, Harapan Sang Pelestari Wayang Cirebon

Kompas.com - 20/03/2016, 18:39 WIB
SEJAK belasan tahun lalu, bercak putih perlahan menelan lensa mata Ki Sawiyah. Namun, bercak yang dikenal sebagai katarak itu tidak bisa menelan ketelitian Sawiyah dalam membuat detail wayang kulit cirebon.

Dengan pandangan mata yang berkabut, laki-laki berusia 66 tahun itu terus menatah wayang untuk memastikan kesenian itu tidak hilang ditelan zaman.

Kenyataan bahwa mata Sawiyah telah payah diketahui pada 2005 dari seorang dokter spesialis mata. Itu pun secara tak sengaja.

Kala itu, ia baru saja pulang mengantar wayang kulit cirebon buatannya ke Banjaran, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, atau sekitar 60 kilometer dari kediamannya. Belum jauh dari situ, Sawiyah yang mengendarai sepeda motor bertabrakan dengan pengendara sepeda motor lainnya.

Motor produksi 1990-an miliknya satu-satunya rusak berat, bodinya berhamburan. Beruntung ia hanya lecet. Namun, kacamatanya yang pecah mengantarkannya ke dokter spesialis mata.

”Mata Bapak ini sudah lama katarak,” ujar Sawiyah meniru ungkapan dokter tersebut. Kisah itu mengalir dari mulutnya, Kamis (25/2/2016), di rumahnya, tepat di pinggir kali di Desa Gegesik Kulon, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

Akibat katarak, Sawiyah tidak membiarkan lagi matanya tak bekerja keras. Padahal, dulu dari pagi hingga malam selama puluhan tahun matanya memandu tangannya mengukir, menatah, dan mewarnai wayang kulit cirebon.

Namun, kecintaannya terhadap kesenian khas Cirebon tersebut membuat ia tak rela hanya berdiam diri. Ia memaksa dirinya terus membuat wayang dengan kondisi mata yang ”seadanya”.

Seperti siang itu, di bagian barat rumahnya yang berdinding retak, Sawiyah tekun berjam-jam membuat wayang kulit sambil duduk tanpa alas di lantai rumahnya.

Di tangan Sawiyah yang keriput, tatah yang seperti paku dan gandin, sebuah palu yang terbuat dari kayu, membentuk bagian tubuh dan wajah tokoh Kresna yang elok. Bulatan yang berukuran milimeter di wayang Kresna ditatahnya dengan sempurna dan halus.

Beberapa kali, sekitar 20 tatah, yang ia buat dari terali besi velg motor, bergantian digunakan. Hanya karet berbeda warna yang menandai setiap tatah. Hanya Sawiyah seorang yang tahu tatah mana yang pas.

Sesekali kacamata besarnya yang menutupi alis dan kantong matanya sengaja dilepaskan sembari mengistirahatkan matanya. Ketika terik matahari sampai ke tempat ia berkarya, sebuah spanduk dan bambu yang dibentuk menyerupai pintu dipasang untuk menghalau silau. ”Begini caranya untuk tetap bisa buat wayang meski katarak,” ucap Sawiyah.

Sejak divonis katarak, ia tak lagi pernah membuat wayang di malam hari. Lampu minyak yang membantunya berkarya ketika hari gelap digantung dekat langit-langit kamarnya yang terbuat dari anyaman bambu.

Wayang kulit cirebon berbeda dengan wayang dari daerah lain. Bentuk bagian bawah mata tokoh wayang kulit cirebon, misalnya, lurus mendatar.

Selain itu, hanya wayang kulit cirebon yang memiliki sembilan punakawan dan tokoh wayang seperti tokoh Curis dan Cungkring. ”Ini penggambaran Wali Sanga yang pernah menyebarkan Islam di Cirebon,” ujar Sawiyah.

Tumbuh bersama wayang

Sawiyah memang tumbuh bersama wayang kulit cirebon. Sejak kecil, ketika masih di Sekolah Rakyat Gegesik Kulon, ia kerap menonton pementasan wayang. Baginya, saat itu, wayang sangat menghibur, melebihi mobil-mobilan atau mainan apa pun.

”Pementasan bercerita tentang kisah-kisah pahlawan dan penyebaran Islam,” ucapnya. Saking seringnya menonton wayang, watak-watak tokoh wayang pun membekas di ingatannya.

Coba-coba, ia mulai membuat wayang dari kertas hingga mencari tahu siapa dan dari mana asal wayang kala itu. Dalang dan perajin saat itu banyak berasal dari Gegesik yang tercatat sebagai tempat para seniman Cirebon.

”Saat remaja, saya mulai ikut dengan perajin wayang kulit dari keraton di Cirebon,” ujar Sawiyah yang tak punya keturunan darah seniman sedikit pun.

Ia pun menjadi santri Ki Maruna, seorang perajin dan dalang wayang kulit dari keraton. Sejak itu, ia tumbuh menjadi perajin wayang kulit cirebon. Ia berusaha membuat wayang sesuai anjuran yang ia terima dari gurunya, Ki Maruna, demi menjaga keaslian wayang cirebon.

Hal itu ia lakukan untuk menjaga amanat Ki Maruna yang pernah berpesan, ”Aku titipkan keaslian wayang kulit cirebon, jagalah.”

Pesan itu tertancap kuat dalam ingatan Sawiyah dan ia tidak berani melanggar. Ia, misalnya, tetap menggunakan kulit kerbau sebagai bahan wayang sesuai ajaran Ki Maruna. Ia tahu bahwa kulit kerbau memang lebih kuat.

Ia juga tetap menjaga corak sungging (pewarnaan) yang bulatannya separuh merah dan selebihnya hijau dan biru. Bahkan, Sawiyah masih setia menggunakan pewarna dari serbuk. ”Memang masih kuno. Tetapi, dengan begitu, mutu dan identitas wayang kulit cirebon terjaga,” ujarnya.

Karena Sawiyah selalu menuntut dirinya sendiri untuk membuat wayang sebagus mungkin, ia membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk menyelesaikan satu tokoh. Proses pembuatan makan waktu lama demi melayani ketelitian Sawiyah.

”Proses menghasilkan wayang memang lama. Ini bukan soal wayang terjual, melainkan bagaimana wayang kulit asli cirebon tetap ada,” ujarnya.

Karya Sawiyah banyak dicari pencinta wayang karena kualitasnya sangat bagus. Karyanya pun sudah ke mana-mana, seperti Jakarta dan Yogyakarta.

Ia juga pernah memamerkan karya-karyanya di Bentara Budaya Jakarta pada tahun 2000-an bersama seniman terkemuka Cirebon dan Indramayu lainnya. ”Beberapa waktu lalu, mahasiswa dari Institut Teknologi Bandung datang meneliti wayang karya saya,” ucapnya.

Namun, kegigihannya untuk menjaga keaslian wayang kulit cirebon tak mulus. Kulit kerbau, misalnya, sudah sulit didapatkan. Sawiyah sampai harus berburu kulit untuk wayang hingga ke Toraja, Sulawesi Selatan.

Untuk setengah kulit kerbau dengan ukuran hampir 2 meter, harganya Rp 600.000. Kulit seukuran itu bisa dibuat beberapa tokoh wayang. Sawiyah biasanya meraup untung sekitar Rp 1 juta untuk sebuah wayang.

Akan tetapi, dalam sebulan, paling hanya satu wayang yang terjual. Meski hasilnya tidak banyak, Sawiyah mampu membesarkan tiga anak beserta sembilan cucunya.

Ia tidak pernah merisaukan uang yang diperoleh karena ketekunannya membuat wayang sejak awal ia niatkan untuk melestarikan seni Cirebon tersebut.

Ia justru risau dengan kemungkinan punahnya wayang kulit cirebon seiring dengan menuanya para pembuat wayang cirebon.

Berdasarkan buku Seni Tatah dan Sungging Wayang Kulit Cirebon, Pengantar Reka Visual dan Makna Simbolik karya Rafan S Hasyim, terbitan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Cirebon tahun 2011, dari sekitar 60 kelompok wayang, Cirebon hanya memiliki 10 perajin wayang. Sekarang malah tinggal Sawiyah dan Ato Suhatno (44) yang masih produktif membuat wayang kulit cirebon.

Jika tidak ada upaya dari pemerintah setempat dan dukungan masyarakat untuk melestarikan wayang kulit cirebon, kesenian itu perlahan tapi pasti akan hilang ditelan zaman. Kenyataan ini sungguh pahit buat Sawiyah yang dari tahun ke tahun bergelut dengan wayang kulit cirebon.

”Semoga cucu saya dapat meneruskan kesenian ini saat saya sudah meninggal,” ucapnya penuh harap. (ABDULLAH FIKRI ASHRI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com