Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Emiliana Kopa, Menjaga Tenun, Merawat Bena

Kompas.com - 17/06/2016, 17:22 WIB

SEJAK 2011, Emiliana Kopa dipilih sebagai pengurus pengelola kampung wisata Bena. Selain mengurus perkampungan megalitik yang menjadi salah satu tujuan wisata di Flores ini, ia juga memberi pemahaman kepada para perempuan di Kampung Bena untuk menenun dengan bahan pewarna alam.

Menenun bagi perempuan di Bena, Kecamatan Jerebuu, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, adalah kebiasaan sekaligus pekerjaan yang sudah mereka kenal sejak anak-anak. Menenun juga menjadi ”keharusan” bagi mereka.

Kain tenunan para mama, sebutan ibu di Flores, selain digunakan untuk keperluan sehari-hari, juga menjadi pakaian resmi dalam upacara adat. Bahkan, bagi para mama di Bena, menenun sarung dan selendang juga berarti menopang ekonomi keluarga.

Umumnya kepala keluarga di Bena menjadi petani. Hasil kebun mereka, seperti kakao, kayu manis, dan kemiri, relatif tak bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Oleh karena itu, selain mengurus rumah tangga, para mama menenun kain untuk dijual.

Di sisi lain, kepraktisan dan persaingan harga membuat mereka memakai bahan pewarna kimia. Padahal, pewarna kimia tak ramah lingkungan. ”Waktu dan tenaga yang digunakan untuk menenun hampir sama, tetapi hasilnya berbeda,” kata Mama Emi, panggilan Emiliana Kopa (44).

Jika mereka memakai pewarna kimia, selendang dijual dengan harga Rp 150.000. Namun, dengan pewarna alam, proses mewarnai lebih lama dan sulit. Mereka juga harus mengumpulkan bahan pembuat warna sampai ke hutan sehingga harga jual menjadi Rp 400.000.

Namun, mengingat dampak pada lingkungan, Emi memilih pewarna alam. Ia memotivasi para mama di Bena agar memakai pewarna alam. Didampingi lembaga swadaya masyarakat (LSM) Swisscontact, pada 2011 Emi belajar mengolah pewarna alam selama enam bulan, misalnya biru dari daun nila, merah dari mengkudu, dan kuning dari kunyit. Sayangnya, pewarna alam yang ia ramu membuat kain tenun luntur.

Tak punya cukup uang untuk kembali belajar meramu pewarna alam, Emi bertanya pada ibundanya. Dibantu Yoseph Boko, suaminya, Emi berusaha mendapatkan daun, batang, dan akar di hutan, lalu meramunya sesuai petunjuk sang bunda. Dia juga bereksperimen untuk menghasilkan warna yang berbeda dengan menggunakan kulit pohon nangka atau kulit pohon mangga untuk mendapatkan gradasi warna berbeda.

Setelah berhasil mendapatkan formula pewarna alam, Emi membagi pengetahuannya kepada sesama petenun di Bena yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Sebagai pengurus pengelolaan Kampung Bena, dia memanfaatkan waktu pertemuan dengan warga untuk memotivasi petenun memakai pewarna alam. Alhasil pendapatan para mama dari menenun bisa mencapai Rp 4 juta per bulan.

Sanitasi

Di Bena, perempuan memegang peranan penting, baik dalam keluarga maupun masyarakat (matriarkat). Menurut Emi, secara turun-temurun warga berusaha melestarikan kampung Bena. Namun, pendidikan dan pentingnya sanitasi bagi kesehatan warga perlu ditingkatkan.

Apalagi sebagai salah satu tujuan wisata di Flores, Kampung Bena setiap tahun didatangi 24.000-25.000 wisatawan. Dibantu pengurus kampung lainnya, Emi berusaha memberi contoh pentingnya sanitasi dalam kehidupan sehari-hari, seperti mencuci tangan dan hanya mengonsumsi air minum yang dimasak.

Tahun 2011, dia mendirikan semacam toko suvenir Kampung Bena. Harapannya, hasil kerajinan tangan warga Bena bisa dipasarkan dengan standar harga sama. Namun, toko itu tak bertahan karena tak semua warga mau menitipkan hasil karyanya di sini.

”Perbedaan harga sering menimbulkan masalah meski sebelumnya kami sudah sepakat. Harga selendang, misalnya, Rp 400.000. Namun, karena kebutuhan mendesak, ada petenun yang menjual selendangnya di bawah harga standar,” ceritanya.

Padahal, di kalangan turis asing, masalah harga bisa sensitif. Mereka merasa ditipu saat tahu ada turis lain yang membeli suvenir dengan harga lebih murah.

”Tamu jadi marah karena merasa dibohongi. Harus muncul kesadaran di antara warga tentang pentingnya standar harga yang sama. Di sisi lain, saya bisa memaklumi, setiap keluarga punya keperluan mendesak.”

Tahun 2015, Emi bergabung menjadi ibu inspirasi yang dikelola LSM Kopernik. Kopernik membantu warga lewat pengadaan teknologi tepat guna dengan melibatkan para mama. Misalnya, kompor ramah lingkungan sebagai pengganti tungku kayu, saringan air bersih, dan lampu tenaga surya.

”Di sini listrik sering mati, dan masih banyak warga yang memasak dengan tungku kayu,” kata Emi. Awalnya dia membeli kompor ramah lingkungan dan lampu tenaga surya. Hasilnya, pengeluaran rumah tangga lebih hemat, Emi pun punya lebih banyak waktu untuk menenun.

”Kalau biasanya sekali memasak saya menghabiskan sepikul kayu, dengan kompor ramah lingkungan bisa untuk satu minggu,” ujar Emi yang bisa menenun lebih lama di malam hari dengan lampu tenaga surya. Dia menggunakan dan merasakan manfaat alat teknologi tepat guna itu, sebelum kemudian memperkenalkannya kepada warga Bena.

Awalnya, setiap hari Kamis, hari pasaran di Jerebuu, saat banyak warga berkumpul, dia melakukan demo penggunaan alat teknologi tepat guna tersebut.

”Di sini kami tidak bisa hanya menyebarkan brosur. Orang harus melihat sendiri bagaimana alat itu bekerja,” kata Emi yang juga menggunakan saringan air untuk air minum sehingga tak perlu lagi memasak air.

Terbakar

Menjalani periode kedua sebagai pengurus pengelolaan Kampung Bena, sejak September 2013 Emi dan keluarganya tak lagi memiliki rumah adat. Saat dia tengah menemani anak keduanya yang demam di rumah sakit, rumahnya terbakar.

”Saya pulang rumah itu tinggal tumpukan arang,” ucap Emi tentang rumah panggung berlantai kayu dan beratap alang-alang yang ditinggali keluarganya turun-temurun. Padahal, bagi warga Bena, rumah adat adalah simbol perlindungan dan keberlangsungan hidup berkeluarga.

Tanduk kerbau yang disusun di depan rumah dan lukisan kuda mengingatkan mereka agar hidup bergotong royong dan bekerja keras. Darah kerbau yang disembelih dioleskan di tiang ngadu, rumah kecil yang menunjukkan simbol leluhur lelaki. Sementara simbol leluhur perempuan disebut bhaga.

Tanpa rumah adat keluarga, Emi menanggung rasa malu. Seiring berjalannya waktu, dia belum juga mampu membangun kembali rumah keluarga. Biaya pembangunan rumah adat mencapai Rp 482 juta karena harus melalui ritual tertentu.

Selain semua material seperti bambu, kayu dan alang-alang sudah tersedia, ada berbagai ritual pada proses pembangunan rumah adat yang dibangun secara gotong royong selama 2 bulan 32 hari. Dia juga harus menyediakan puluhan ternak selama proses pembangunan berlangsung. (Chris Pudjiastuti)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

3 Mall Solo dekat Stasiun Purwosari, Bisa Jalan Kaki

3 Mall Solo dekat Stasiun Purwosari, Bisa Jalan Kaki

Jalan Jalan
Minimarket di Jepang dengan Latar Belakang Gunung Fuji Timbulkan Masalah

Minimarket di Jepang dengan Latar Belakang Gunung Fuji Timbulkan Masalah

Travel Update
Desa Wisata di Spanyol Binibeca Vell Terancam Ditutup Akibat Lonjakan Jumlah Wisatawan

Desa Wisata di Spanyol Binibeca Vell Terancam Ditutup Akibat Lonjakan Jumlah Wisatawan

Travel Update
Naik Whoosh, Dapat Diskon dan Gratis Masuk 12 Tempat Wisata di Bandung

Naik Whoosh, Dapat Diskon dan Gratis Masuk 12 Tempat Wisata di Bandung

Travel Update
7 Hotel Dekat Bandara Ngurah Rai Bali, Ada yang Jaraknya 850 Meter

7 Hotel Dekat Bandara Ngurah Rai Bali, Ada yang Jaraknya 850 Meter

Hotel Story
6 Taman untuk Piknik di Jakarta, Liburan Hemat Bujet

6 Taman untuk Piknik di Jakarta, Liburan Hemat Bujet

Jalan Jalan
7 Taman Gratis di Yogyakarta, Datang Sore Hari Saat Tidak Terik

7 Taman Gratis di Yogyakarta, Datang Sore Hari Saat Tidak Terik

Jalan Jalan
Istana Kepresidenan Yogyakarta Dibuka untuk Umum, Simak Caranya

Istana Kepresidenan Yogyakarta Dibuka untuk Umum, Simak Caranya

Travel Update
Jadwal Kereta Cepat Whoosh Mei 2024

Jadwal Kereta Cepat Whoosh Mei 2024

Travel Update
Cara Berkunjung ke Museum Batik Indonesia, Masuknya Gratis

Cara Berkunjung ke Museum Batik Indonesia, Masuknya Gratis

Travel Tips
Amsterdam Ambil Langkah Tegas untuk Atasi Dampak Negatif Overtourism

Amsterdam Ambil Langkah Tegas untuk Atasi Dampak Negatif Overtourism

Travel Update
Perayaan Hari Tri Suci Waisak 2024 di Borobudur, Ada Bhikku Thudong hingga Pelepasan Lampion

Perayaan Hari Tri Suci Waisak 2024 di Borobudur, Ada Bhikku Thudong hingga Pelepasan Lampion

Travel Update
Destinasi Wisata Rawan Copet di Eropa, Ternyata Ada Italia

Destinasi Wisata Rawan Copet di Eropa, Ternyata Ada Italia

Jalan Jalan
Kenaikan Okupansi Hotel di Kota Batu Tidak Signifikan Saat Libur Panjang Kenaikan Yesus Kristus

Kenaikan Okupansi Hotel di Kota Batu Tidak Signifikan Saat Libur Panjang Kenaikan Yesus Kristus

Travel Update
KA Bandara YIA Tambah 8 Perjalanan Saat Long Weekend Kenaikan Yesus Kristus, Simak Jadwalnya

KA Bandara YIA Tambah 8 Perjalanan Saat Long Weekend Kenaikan Yesus Kristus, Simak Jadwalnya

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com