Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyelamatkan Sejarah Dunia di Morotai

Kompas.com - 15/08/2016, 17:28 WIB

Barang yang mereka temukan beragam, mulai dari aneka botol minuman ringan, wadah obat, tempat makanan, sepeda, senjata otomatis, peralatan instalasi listrik, meriam, mortar, hingga katana (pedang milik samurai). Sebagian besar temuan itu disimpan di museum sederhana berukuran 3 meter x 3 meter berdinding papan dan berlantai tanah di rumah Muhlis.

Meski berupaya mengonservasi sejarah Morotai, Muhlis dan rekannya tak pernah belajar khusus soal itu. Informasi lokasi strategis PD II didapat dari kisah para orang tua yang menjadi saksi sejarah. Informasi itu umumnya sesuai catatan dokumen sejarah atau kisah veteran perang Sekutu atau Jepang yang mengunjungi Morotai.

Untuk mencari dan menggali benda-benda sisa perang, Muhlis dan rekannya juga tak pernah belajar arkeologi. Segala cara dan alat mencari benda- benda tersebut dipelajari dan dibuat secara otodidak.

Salah satunya besi lot untuk mendeteksi benda-benda sisa perang yang tertimbun tanah. Dengan alat berupa besi panjang dilengkapi sejenis cincin di ujungnya itu, mereka bisa memperkirakan jenis benda yang ada di dalam tanah, apakah keramik, besi, kuningan, atau mesiu.

Dari suara dan sampel benda yang menempel di ujung besi dan cincin itu, mereka akan menentukan apakah penggalian aman dilakukan atau tidak. Analisis empiris itu penting guna menghindari penemuan senjata aktif yang rentan bikin celaka. ”Dibutuhkan pengalaman dan kepekaan menentukan jenis benda yang tertimbun,” ujarnya.

Biaya untuk mencari dan menggali barang-barang sisa perang itu mereka kumpulkan dari sumbangan kelompok. Anggota Swadaya Pemerhati Museum PD II lainnya, Ishak Kotu (34), mengatakan, sejak enam tahun lalu, dirinya selalu mengumpulkan empat karung kelapa setiap akan ke hutan mencari sisa peninggalan PD II.

Dengan harga kelapa Rp 20.000 per karung, Ishak bisa mendapatkan Rp 80.000. Uang itu cukup untuk membeli bekal selama tiga hari-tiga malam di hutan. ”Istri saya tidak protes karena sebelum menikah sudah tahu kegiatan ini,” kata pegawai honorer ini.

Anggota kelompok lainnya, Muhlis Aramin (41), nyaris bercerai. Istrinya tak setuju karena dianggap menghabiskan penghasilan dari menarik becak motor.

Namun, di tengah keterbatasan dan kendala, mereka tetap bertekad menjaga kepingan sejarah dunia di Morotai demi nama baik leluhur, generasi penerus, dan Indonesia. (Frans Pati Herin/Cornelius Helmy/M Zaid Wahyudi)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Agustus 2016, di halaman 1 dengan judul "Menyelamatkan Sejarah Dunia di Morotai".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com