Menurut ensiklopedia Pemerintah Selandia Baru, di situs Teara, orang-orang Polinesia dapat menjangkau Selandia Baru dengan menggunakan bantuan arah angin dan perbintangan.
Orang Polinesia, dan kini dikenal sebagai suku Maori, saat itu menamakan Auckland dengan sebutan Tamaki Makaurau. Tempat itu juga dikenal dengan sebutan Tamaki Herenga Waka atau daerah Tamaki yang menjadi tempat berkumpulnya perahu-perahu kano (waka).
Kawasan itu pun berkembang sebagai pusat perdagangan di kawasan kepulauan Pasifik, hingga bangsa Eropa tiba di pulau itu pada abad ke-18.
Kehebatan para penghuni pulau itu melaut, baik keturunan Polinesia maupun Eropa, diabadikan pada poster-poster yang dipasang di tengah kawasan dermaga.
Pada beberapa poster memuat foto dan informasi tentang perahu-perahu layar yang berjaya di lautan dan merupakan buatan perajin perahu setempat. Salah satunya perahu Ngataki buatan seorang perancang perahu yacht, JW Wray, yang dikenal di masa 1930-1940.
Sentuhan tradisional juga ditampilkan pada plakat besi yang memuat prosa berbahasa Maori, bernama Titai’s Vision. Isinya menyemangati para pelaut bahwa angin dari utara membawa hawa hangat dan lembut, dan angin itu akan mendorong keong-keong ke permukaan.
Untuk mengetahui lebih banyak tentang tradisi melaut orang-orang Selandia Baru, kita dapat mengunjungi New Zealand Maritime Museum yang berada di kawasan Viaduct Harbour. Tiket masuknya 20 dollar New Zealand bagi turis asing, atau sekitar Rp 200.000.
Museum tersebut mengingatkan pada Museum Bahari di Pasar Ikan, Jakarta Utara, yang juga berada tak jauh dari Pelabuhan Sunda Kelapa.
Akses yang adil
Area Pelabuhan Viaduct Harbour dan Wynyard Quarter tidak pernah sepi dari lalu lalang warga kota Auckland. Di kawasan Wynyard Quarter berdiri kafe-kafe yang dulunya bangunan gudang.
Joe, petugas dari pemerintah kota Auckland, dengan senang hati menjelaskan penataan yang sedang berjalan di Viaduct Harbour dan Wynyard Quarter.
Menurut dia, penataan Viaduct Harbour dan Wynyard Quarter baru lima tahun terakhir menjadi ruang publik dan komersial serta masih terus ditata.
Joe menambahkan, rencana penataan kawasan pelabuhan itu berlangsung sejak 2007 dengan menyerap aspirasi warga. Salah satu keinginan besar warga adalah adanya ruang publik untuk warga berkumpul di tepi pelabuhan.
Di Jakarta, keinginan serupa pun ada di benak warganya. Namun, tepi pantai sebagian besar menjadi kawasan elite. Tak tersedia akses bagi warga umum menikmati suasana pantai di Jakarta. Salah satu tempat yang nyaman diakses publik, yaitu di Ancol, pun harus bayar.
Kini, penataan memang tengah dilakukan di pesisir Jakarta. Akan tetapi, belum terlihat arah jelas dan jaminan akses dan fasilitas bagi publik. Padahal, daerah tepi sungai, danau, situ, rawa, dan laut milik publik yang seharusnya menjadi ruang publik, bukan privat.
Membangun kebanggaan dari tepi laut karena dari sana berbagai macam bangsa pelaut mendarat dan turut mengembangkan Jakarta, seperti di Auckland. (MADINA NUSRAT)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 September 2016, di halaman 28 dengan judul "Menikmati Harmoni di Kawasan Tepi Laut".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.