Dongzhi Festival alias Winter Solstice Festival adalah salah satu perayaan terpenting dalam sepanjang tahun Penanggalan Imlek. Dongzhi Festival adalah perayaan terakhir dari seluruh rangkaian perayaan di penanggalan Imlek.
Tepat di hari ini, matahari berada di Tropic of Capricorn sehingga hari itu adalah malam terpanjang atau hari terpendek dalam setahun.
Di Tiongkok kuno, perayaan ini dirayakan dengan berkumpulnya seluruh keluarga besar, dan mereka akan membuat satu makanan yang disebut dengan tang yuan (??, pinyin: tang yuan, dibaca: dang yuen), yang artinya kurang lebih adalah kuah ronde.
Dalam bentuk aslinya di Tiongkok, pembuatan ronde ini adalah dengan tepung ketan yang kemudian dibulat-bulat, dan diberi warna.
Tentu saja warna-warna cerah mendominasi bulatan ketan itu. Putih, merah, hijau cerah, kuning banyak mendominasi bulatan-bulatan ronde.
Ronde ini disajikan dalam kuah manis dan kadang kaldu daging. Seiring berjalannya waktu, modifikasi ronde juga berkembang, dengan diisi kacang tanah cincang, wijen, tau sa alias kacang hitam, dan sebagainya.
Ronde dibuat dengan tepung ketan dan air saja, tidak menggunakan gula sama sekali dan tanpa ragi atau baking soda sekalipun. Makna dari ronde yang terbuat dari tepung ketan yang lengket adalah untuk merekatkan kekerabatan serta mempererat hubungan antarkeluarga.
Ronde yang kami buat adalah ronde yang plain alias tanpa rasa apapun. Rasanya tawar dan tanpa bahan isian apapun.
Tahun-tahun belakangan sebelum anak-anak merantau ke luar kota semua, kami di Semarang, Jawa Tengah, memilih praktisnya saja membeli ronde jadi dengan ukuran yang cukup besar, dengan berbagai bahan isian.
Kami beli jadi di Pasar Gg Baru Semarang. Sekali lagi silang budaya di sini menunjukkan perannya.
Di tempat asal di Tiongkok ronde yang dihidangkan dengan kuah manis atau kaldu daging, di Indonesia kebanyakan keluarga membuat kuah ronde dengan jahe dan gula, sehingga lebih tepat disebut dengan wedang ronde. Wedang ronde gabungan kompak dan harmonis antara rasa manis gula, pedas, dan hangat dari jahe, serta kekenyalan ronde dan isinya yang mak nyus.
Asal usul ronde
Wedang ronde Indonesia tidak akan dijumpai di belahan bumi manapun, karena asimilasi budaya Tionghoa dengan budaya Nusantara.
Kata ronde berasal dari bahasa Belanda ‘rond’ yang berarti bulat. Dalam bahasa Belanda, jamak digunakan akhiran/sufiks pengecil ‘je’, seperti misalnya: toetje (dessert, pencuci mulut), patatje (kentang goreng), schuitje (jadi sekoci), bakje (jadi baki), petje (topi, yang kemudian jadi peci), boontjes (buncis), kaartjes (karcis), dua belakangan dalam bentuk jamak.
Bahkan untuk nama orang seperti Antje, Heintje (penyanyi Belanda yang populer juga di Indonesia). Tidak mengherankan orang-orang Belanda yang melihat sajian ini menamakannya ‘rondje’ – lebih mudah untuk lidah daripada ‘tang yuan’. ‘Rondje’ sendiri tidak begitu mudah untuk lidah lokal, sehingga lama-lama menjadi ronde sampai sekarang.