Bila ingin mendapatkan foto dengan komposisi utuh dek cinta serta pemandangan air terjun, telah disediakan pula sebuah panggung setinggi 1,5 meter di depan dek cinta.
Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Gempita Desa Ketenger Purnomo mengatakan, di balik dek cinta ada makna untuk mengingatkan seluruh pengunjung dan warga tentang semangat handuweni atau memiliki.
”Dengan semangat memiliki, orang akan ikut mencintai dan menjaga lingkungan serta sesamanya,” kata Purnomo.
Curug Jenggala kini dikelola warga sekitar. Modal untuk membeli kayu untuk membuat deck cinta dan jembatan disediakan Perhutani, sedangkan warga bergotong royong menata tempat itu. ”Misi yang diangkat adalah hutan lestari, masyarakat sejahtera,” ujar Purnomo.
Setidaknya ada 30 orang yang dilibatkan untuk mengelola tempat wisata itu. Mereka berbagi tugas, antara lain menjaga loket masuk, pengembangan usaha, dan keamanan. Tiap bulan rata-rata pendapatan mereka berkisar Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per orang.
”Dari sisi ekonomi, warga mendapatkan pemasukan tambahan. Dari segi sosial, warga mulai sadar bagaimana menyapa pengunjung serta tidak lagi menjemur pakaian dalam di depan rumah,” papar Purnomo.
Dwiyana (21), salah satu petugas loket, bersyukur mendapatkan pekerjaan di kampung halamannya itu setelah selesai SMA.
Sementara Suprapto (43), yang sehari-hari membersihkan lahan, kini mulai jadi tukang ojek. ”Sehari dapat Rp 70.000 sampai Rp 100.000,” kata Suprapto.
Di wilayah itu terdapat pula obyek wisata Curug Penganten, Curug Muntu, Situs Batur Lumpang, dan Bukit Cinta. Namun, dengan dibukanya obyek wisata Curug Jenggala pada 22 Oktober 2016, kata Dwiyana, jumlah pengunjung meningkat.
”Sebelum curug ini dibuka, jumlah kunjungan per bulan tidak sampai 2.000 orang. Setelah dibuka, pengunjung bertambah sampai 10.000 bahkan 13.000 orang per bulan,” kata Dwiyana.
Tokoh masyarakat Dusun Kalipagu, Nur Sanjaya (47), mengatakan, Curug Jenggala ada di pertemuan antara Sungai Banjaran dan Sungai Mertelu.
Di sana juga terdapat Situs Batur Semende yang menjadi penanda tempat pelatihan para prajurit Kerajaan Jenggala pada tahun 1040. ”Di sini para prajurit utama atau para senopati berlatih ilmu keprajuritan dan kanuragan,” kata Nur.