Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Guti Nale, Tradisi Tangkap Cacing Laut di Mingar Lembata

Kompas.com - 11/03/2019, 21:06 WIB
Nansianus Taris,
Wahyu Adityo Prodjo

Tim Redaksi

Lelahnya perjalanan kami juga terbayar pesona pasir putih Mingar yang terhampar panjang berhadapan dengan Laut Sawu. Hari semakin sore, kami pun beranjak dari Pantai Mingar menuju penginapan yang sudah disiapkan panitia festival Guti Nale.

Keesokan harinya, kami mengikuti rangkaian ritual dalam tradisi Guti Nale ini pada 25-26 Februari 2019 lalu.  Sekitar pukul 09.00 (25/2). Rangkaian acara Guti Nale dimulai dengan memberikan sesajian di Koker Waitobi, Duli Ulu dan kubur Belawa.

Dimulai dengan bine (pihak perempuan) dari suku ketupapa bergegas ke rumah saudara laki-lakinya dari suku ketupapa sambil membawa bahan-bahan seperti ayam betina hitam, beras hitam (ketane), tuak, konok dan bleka.

Di tempat yang berbeda pihak bine Suku Atakabelen mengantar bahan-bahan yang sama kepada rumah ketua Suku Atakabelen. Beberapa saat kemudian, rombongan suku atakabelen berjalan menuju rumah ketua Suku Ketupapa, untuk sama-sama bergerak menuju Koker Waitobi yang letaknya di kampung lama.

Di Koker Waitobi, dua suku yakni Atakabelen dan Ketupapa melakukan ritual memberi makan leluhur (Srona dan Srani). Bahannya adalah beras hitam yang disangan sampai halus (ketane) yang dikerjakan pihak bine dari Suku Ketupapa.

Sebagai lauknya, ada sejenis ikan yang dalam bahasa setempat disebut keposis. Ikan jenis ini berwarna hitam kecil yang suka melompat dari batu ke batu di pinggir laut. Ditambah dengan ayam jantan hitam (manu lalu miteu).

Selanjutnya, tetua adat pergi ke bagian timur lapangan sepak bola Mingar untuk memberi sesajian di Duli Ulu. Duli Ulu merupakan tengkorak kepala dari Srona dan Srani.

Sebelum meninggal mereka sempat berpesan agar tengkorak kepala mereka ditempatkan di lokasi yang disebut Duli Ulu. Selanjutnya, upacara dilanjutkan dengan memberi makan Belawa, leluhur Atakabelen yang dikuburkan dekat pantai.

Sekembalinya ke Koker Nale, sisa sesajian (Deta Nga’a se) dalam ritual memberi makan leluhur dibagikan kepada semua orang (ribu ratu, ari ana, nuja golu) yang terlibat dalam ritual ini. Setiap orang yang mengikuti ritus ini boleh menikmati makanan sisa berupa nasi dan daging ayam dengan tuak putih sebagai minumannya.

Sore harinya, dua utusan dari Suku Ketupapa dan Atakabelen menarik daun kelapa. Satunya ke arah timur kampung dan yang lain ke arah barat kampung.

Menjelang Guti Nale pada malam hari, dua utusan dari suku yang sama, pergi ke pantai. Keduanya memastikan adanya koloni nale yang  menggerumut di sepanjang perairan pantai Mingar. Ketika melihat nale, mereka langsung menyalakan kuum (penerang yang terbuat dari daun koli) sambil berteriak duli gere, Lewo Rae Malu.

Mendengar teriakan ini, orang berdatangan dan menyemut di pantai pasir putih. Tua muda, laki-laki perempuan dari segala penjuru sibuk mengambil nale.

Adapun peralatan untuk mengambil nale diantaranya temenaj (alat untuk mengambil nale), sebenale (kalau nale sudah penuh di temenaj, maka akan ditampung di sebenale), kuum (penerang) dan kedeli (alas sebenale).

Saat mengambil nale, orang meneriakkan duli gere-duli gere-duli gere, sebagai yel kebahagiaan akan datangnya nale.

Keesokan harinya, pada jam yang sama orang datang lagi mengambil nale dengan suasana riang gembira. Setelah Guti Nale selesai, didaraskan mantra enem lau pito jae, pito jae buto lau tune mu besol, mo akaju para boi ribu ratu moa ia duli pali epak rea Waike ake da malu mai.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com