Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (29): Truk Dongfeng

Kompas.com - 11/09/2008, 06:58 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Saya meninggalkan rumah Donchuk dengan hati yang teramat gundah. Saya ingin segera meninggalkan kota ini, bergegas menutup segala kenangan tentang Tibet. Namun di akhir perjalanan ini, masih ada kisah manis yang mengakhiri.

Tak mudah mencari tumpangan kendaraan di Tibet menuju Nepal. Walaupun judulnya Friendship Highway yang menjadi urat nadi perdagangan dengan Nepal, tetapi lalu lintas sepi. Negara tetangga di selatan juga miskin, sementara biaya transportasi yang mahal melintasi gunung-gunung raksasa di Tibet tak terlalu menarik minat para pedagang.

Saya menunggu di pertigaan. Di sini sudah banyak orang menunggu. Ada keluarga Tibet dengan barang bawaan berkarung-karung. Ada pria-pria bertopik koboi, mencari tumpangan menuju Shigatse. Ada pula banyak pengemis perempuan berwajah lusuh yang masing-masing menggendong bayi, sama lusuhnya. Yang mau ke Nepal pun bukan hanya saya seorang. Masih ada seorang gadis China yang cantik berkepang, berkaus hitam ketat dan bertopi koboi.

          “Kami sudah menunggu sejak kemarin di sini,” kata gadis Hebei yang mungil dan lincah itu, “Tak ada kendaraan juga. Sebenarnya kita bisa menyewa mobil sampai ke perbatasan di Zhangmu, harganya kalau tidak salah seribu Yuan.”

Seribu Yuan, mahal sekali! Di dompet saya sekarang cuma tersisa 250 Yuan. Dalam bahasa Mandarin, 250 disebut erbaiwu. Kata yang sama juga berarti bodoh, tolol. Sekarang saya benar-benar erbaiwu, terkatung-katung pada langit yang mungkin akan bermurah hati menghantar saya keluar dari negara ini.

Gadis itu bernama Xiao Bai, masih seumuran saya. Dia berencana ke Nepal dengan seorang kawan dekatnya, cowok. Ibunya tak mengizinkannya bertualang ke Tibet dan Nepal kalau tidak ditemani. Tempat miskin, amburadul, berbahaya, begitu selalu alasannya. Negeri China sekarang sudah mulai maju dan kaya. Di mata mereka negeri jiran dan tempat terpencil selalu ‘miskin’, ‘amburadul’, ‘berbahaya’. Setiap hari ibunya menelepon, dan Xiao Bai harus mengulang lagu yang sama,

          “Tibet tidak miskin, ma. Di sini aman dan tentram. Tak berbahaya.”

Sehari saja Xiao Bai tak menelepon, keluarganya langsung kalang kabut. Wajarlah kalau papa dan mama Xiao Bai begitu protektif, keluarga orang China cuma punya satu anak semata wayang karena aturan keluarga berencana yang sangat ketat.

Karena itu pulalah Xiao Bai ditemani lelaki muda ini, masih seumuran juga. Tinggi, kurus, dan berwajah muram. Nampaknya mereka berdua sering cekcok juga di jalan. Kata Xiao Bai, kawannya itu sering protes terhadap keadaan. Maklumlah, anak sewata wayang yang baru pertama merambah dunia luar, lepas dari hangatnya pelukan ayah bunda merasakan kehidupan yang keras di jalanan. Perlu adaptasi. Saya juga sudah melewati masa-masa itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com