Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (36): Dimabuk Arak

Kompas.com - 22/09/2008, 07:55 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Pushkar Baral adalah pegawai Radio Nepal. Wajahnya bersih, dahinya lebar, dan tubuhnya kekar. Sore ini, ia mengajak saya ke rumahnya di Patan.

Perkenalan saya dengan Pushkar sebenarnya tak sengaja. Seorang kawan, wartawati di Indonesia, pernah ikut pelatihan jurnalisme di Eropa dan berkenalan dengan seorang jurnalis Radio Nepal. Saya diberi alamat emailnya, lengkap dengan ucapan basa-basi titip salam dan apa kabar, dengan harapan bisa membantu saya menambah kawan di Kathmandu.

Alamat email yang dipakai adalah email kantor, Radio Nepal. Jurnalis yang dimaksud sudah tidak bekerja di sana lagi, dan penggantinya, Pushkar Baral, sama sekali tidak tahu-menahu ke mana rimbanya kawan itu. Akhirnya, setelah berulang kali berbalas email, saya malah berkawan dengan Pushkar.

           “My friend, kalau memungkinkan saya ingin berbagi pengalaman denganmu dan masalah yang kau hadapi di Kathmandu ini.”

Sehabis tutup kantor, jam 6 sore, Pushkar menjemput saya di losmen. Kami berangkat bersama ke rumahnya di Patan, kota kuno yang masih di lingkungan Lembah Kathmandu.

           “Jadi jurnalis di Kathmandu gampang-gampang susah,” katanya, “Di sini kita harus berhati-hati kalau berurusan dengan kabar kerajaan. Kebebasan pers memang ada, tetapi ada batasnya.”

Pembantaian besar keluarga kerajaan Nepal, tanggal 1 Juni 2001, adalah kejutan besar di awal milenium. Dalam tragedi ini, raja, permaisuri, pangeran, putri, dan anggota keluarga kerajaan lainnya terbunuh. Keterangan resmi pemerintah Nepal, Pangeran Dipendra yang mabuk berat membantai ayah, ibu, kakak dan adiknya sendiri ketika keluarga itu sedang berkumpul. Pangeran Dipendra sendiri tewas.

Tragedi itu seketika mengubah sejarah Nepal. Negeri yang semula nyaris tak terdengar, tersembunyi di kaki gunung tinggi Himalaya dalam kedamaian dan kebisuan, kini menjadi perhatian dunia.

Raja baru, Raja Gyanendra, kurang disukai rakyat. Segala macam gosip, rumor, dan teori konspirasi berhembus di kalangan rakyat jelata. Tak banyak orang yang percaya dengan keterangan resmi pemerintah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com