Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (36): Dimabuk Arak

Kompas.com - 22/09/2008, 07:55 WIB

           “Bagaimana pun kejadiannya, jelas hanya Raja Gyanendra yang paling diuntungkan dalam peristiwa ini. Saya tak berani cerita tentang konspirasi atau menuduh apa-apa, yang jelas kepercayaan rakyat Nepal terhadap raja sangat rendah.”

Berita miring tentang raja baru tak mungkin disiarkan. Gumaman orang-orang di jalan tentang buruknya perekonomian, berkurangnya kebebasan, merajalelanya korupsi dan kecurangan, memburuknya keamanan, ditambah lagi gerakan Maois yang semakin menghebat, menunjukkan ada rasa tidak puas dan kecewa di kalangan rakyat jelata.

Radio Nepal, radio resmi pemerintah, berkantor di Singha Durbar. Durbar ini adalah pusat pemerintahan Nepal, tempat kedudukan perdana menteri dan parlemen.

          “Setiap saat saya juga bisa bertemu Perdana Menteri,” kata Pushkar, “karena tempat kami yang sangat sensitif, untuk masuk ke kantor pun pemeriksaannya ketat sekali. Bahkan pegawai tetap sekali pun tetap diperiksa. Saya harus menunjukkan semua isi tas saya.”

Gaji Pushkar tak besar. Hanya 128 dolar per bulan. Ia harus menghidupi istri dan anaknya. Mereka tinggal di satu lantai rumah kontrakan. Di lantai atas, yang tinggal keluarga lain. Kontrak rumah di Kathmandu tidak murah. Sekitar sepertiga gaji Pushkar habis hanya untuk membayar uang kontrak.

Keluarga Pushkar sebenarnya berasal dari desa di puncak sebuah bukit di bagian timur Nepal, jauh di pedalaman. Butuh waktu tiga hari dari jalan raya untuk berjalan kaki sampai ke kampungnya. Tekstur Nepal yang bergunung-gunung dan berbukit menyebabkan sebagian besar perkampungan di negeri ini tak terjangkau lalu lintas, terkunci dalam dunianya masing-masing.

           “Sebenarnya, saya ingin membawa kamu ke sana,” kata Pushkar, “tetapi saya takut. Di sana banyak Maois. Saya tahu Maois memang tidak menyerang orang asing, tetapi saya ini juga incaran mereka karena saya bekerja dengan pemerintah berkuasa.”

Hari ini, berita televisi menyiarkan, bahwa Maois menyetujui gencatan senjata dengan pemerintah, karena tiga bulan berikut ini adalah puncak kedatangan turis asing.

Rumah Pushkar sederhana. Istrinya juga bekerja, malamnya sibuk memasak. Kami menonton televisi. Sudah bertahun-tahun Pushkar beli pesawat televisi ini, tetapi sampai sekarang ia belum paham bagaimana mengoperasikannya. Entah mengapa tampilan menu televisi diseting ke Bahasa Indonesia. Sejak hari pertama beli sampai sekarang, Pushkar hanya bisa mereka-reka menu yang tertampil.

Kami menonton DVD dokumenter tentang kehidupan umat Hindu Bali. Pushkar sangat takjub.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com