Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (56): Bahasa

Kompas.com - 20/10/2008, 08:22 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Tak disangka, di desa-desa di seluk pegunungan tinggi negeri terjepit ini, saya mendengar bahasa Melayu dilafalkan di mana-mana.

Lintasan Sirkuit Annapurna sudah seperti menjadi lintasan wajib turis yang datang ke Nepal. Desa-desa di sini pun bergantung pada turisme. Kebanyakan desa yang kami singgahi tidak pernah ada sebelumnya. Hanya karena turis, desa-desa baru bermunculan, menawarkan pemondokan dan warung yang menjual makanan mulai dari dhal bat sampai makaroni, pizza, pasta, dan mashed potato.

Harga makanan di sepanjang Sirkuit ditentukan oleh ketinggian tempat dari permukaan laut. Semua bahan makanan ini diangkut dari tempat rendah di bawah, oleh porter yang membawa berkarung-karung beras, gandum, tepung, sayur, sampai ayam hidup.

Standar harga makanan sudah ditentukan oleh Annapurna Conservation Area Project (ACAP). Di setiap warung selalu tertempel daftar harga standar, biasanya selalu memasukkan dal bat – makanan tradisional Nepal yang terdiri dari nasi dan beberapa macam sayuran. Kalau makan di warung lokal yang bukan anggota ACAP, harganya lebih murah karena bukan ditujukan untuk turis. Harga makanan dengan daging jauh lebih mahal, saya pun jadi vegetarian.

Selain jadi vegetarian, saya pun jadi penggemar makanan Barat macam makaroni, pasta, spageti, apple pie, dan mashed potato. Saking terkenalnya makanan Eropa di pemondokan dan warung sepanjang lintasan Sirkuit Annapurna, jalur trekking ini sampai dijuluki Apple Pie Trail. Saya hampir sama sekali tak mengenal menu Eropa ini sebelumnya. Bagi saya menu-menu ini dulunya adalah kelas mewah. Bahkan saya pertama kali makan mashed potato di Dusun Danakya. Aneh memang, harga masakan Eropa malah jauh lebih murah daripada menu lokal seperti dhal bat yang harus mengikuti standar harga ACAP.

Masakan Eropa itu memang nikmat. Sekali mencicip mashed potato dicampur susu, saya langsung menjadikannya makanan favorit, menu wajib di setiap dusun yang disinggahi. Sampai akhirnya, saya sakit perut.

Waktu berangkat dari Chame, tubuh saya tak kuat jalan lagi. Selain perut melilit, ditambah lagi dengan batuk yang tak berhenti. Oi Lye dan Jörg terpaksa melambatkan langkah untuk menunggu saya. Mereka pun tak masalah. Untungnya lintasan hari ini tidak terlalu berat. Sejak meninggalkan Chame, jalanan sudah beraspal. Entah apa asyiknya treking di jalan aspal, tetapi saya malah bersyukur.

Perjalanan mulai berat setelah kami melewati Desa Bratang. Jalan aspal sudah berakhir. Jembatan gantung melintang, membentang panjang melintasi sungai yang mengalir deras. Bagaimana jembatan logam sebesar ini bisa dibangun di dusun terpencil tengah gunung? Kita harus berterima kasih pada jasa para porter Nepal, yang berbungkuk-bungkuk mengangkut potongan besi besar, melintasi perjalanan berhari-hari naik turun gunung hanya dengan beralas sandal jepit, dari dusun hijau di bawah sana sampai ke sini. Kalau dibandingkan para porter itu, betapa manjanya kita ini.

Selepas jembatan panjang, jalanan naik dengan curam, melintasi hutan hijau dan gunung padas. Jalan ini sebenarnya terbilang ‘datar’, tetapi ‘datar’ menurut standar orang gunung Annapurna tetap saja naik turun dan memeras keringat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com