Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (56): Bahasa

Kompas.com - 20/10/2008, 08:22 WIB

           “Seperti di Indonesia,” kata seorang trekker Brazil dalam bahasa Indonesia yang fasih, “melintasi gunung-gunung ini saya jadi ingat Gunung Kerinci.”

Dia sudah pernah menjelajah Indonesia selama lima bulan, mengunjungi berbagai pulau kecil di Nusa Tenggara dan Maluku.

Saya berjumpa banyak pendaki gunung di lintasan Annapurna yang jatuh cinta dengan alam Indonesia. Selain Jörg yang suka olah raga menyelam di Bunaken, Tanimbar, dan Raja Ampat, rombongan turis Brazil ini menyatakan kecintaannya terhadap gunung dan hutan Indonesia yang katanya tiada bandingnya, juga keramahan penduduknya yang rela memberikan yang terbaik bagi tamu yang datang.

Rasa bangga membuat saya terus memantapkan kaki. Rombongan kami yang semakin lama bertambah besar dan besar, malah lebih banyak membincangkan Indonesia. Anehnya, Bahasa Indonesia jadi bahasa pemersatu kami yang berasal dari berbagai negara ini.

Jangan terkejut kalau orang Nepal pun banyak yang bisa mengerti bahasa kita. Seperti halnya Indonesia, Nepal juga mengirimkan banyak tenaga kerja ke Malaysia. Walaupun gaji mereka di Malaysia tak seberapa, tetapi begitu kembali ke Nepal banyak yang menjadi orang berada, mendirikan hotel dan restoran untuk berbisnis.

Demikan halnya pemilik hotel orang Tibet di Dusun Pisang ini yang lancar berbahasa Melayu setelah bekerja bertahun-tahun di negeri jiran. Penginapannya terbilang yang paling bagus dan sering menerima grup trekker. Karena rasa percaya dirinya yang tinggi, harga kamarnya yang gelap dan dingin sama sekali tak bisa ditawar. Kebanyakan pemondokan di sekeliling Annapurna rela menggratiskan harga kamar untuk diinapi turis, asalkan turis harus makan malam di penginapan yang sama. Harga makanan ditetapkan oleh ACAP, sesuai dengan standar orang asing dan margin keuntungan, untuk menggiatkan perekonomian penduduk.

           “Macam mana bisa begitu? Tak boleh tawar lagi lah!” lelaki setengah baya itu menolak kami dengan kasar. Entah karena daerah ini dingin sehingga sikapnya juga dingin, atau entah ia pernah punya pengalaman buruk dengan orang-orang bercakap bahasa Melayu.

Akhirnya kami pun menginap di pemondokan ini, karena di Dusun Pisang tak ada banyak pilihan. Walaupun namanya berbau-bau Melayu, di desa ini tak ada yang jual pisang. Selain kamar yang dingin dan gelap, saya masih mendapat bonus selimut bau di atas kasur keras dan seekor lintah di lubang toilet. Pemilik hotel terlalu sibuk melayani rombongan turis Perancis yang datang dengan armada lengkap, yang tentu saja membayar lebih banyak lagi. Sungguh saya rindu suasana pemondokan kecil di dusun-dusun bawah yang lebih seperti keluarga.

Sejak memasuki Pisang, kami sudah seperti di dunia lain. Orang Hindu Newari sudah jarang. Yang nampak mendominasi adalah stupa Tibet, batu mani bertahtakan mantra om mani padme hom, dan kuil Budha Lamaisme.

           “Di sini bukan hanya alamnya yang beraneka ragam, etnis dan budayanya pun sangat kaya,” Jörg menyimpulkan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com