Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (61): Api yang Tak Pernah Padam

Kompas.com - 27/10/2008, 07:39 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]


Terbungkus kabut kami mendaki. Yang ada hanya kelabu, dingin. Angin menampar wajah, membekukan semangat. Tetapi, ada api yang tak pernah padam yang membuat kaki terus melangkah, menapak di atas tumpukan salju tebal.

Kami berangkat dari High Camp pukul lima subuh. Matahari masih belum bersinar. Jalanan gelap. Hanya bulatan pancaran lampu senter yang menjadi penunjuk jalan, ditambah denting lonceng leher keledai yang mengangkut bawaan rombongan trekker. Dalam kegelapan ini, saya meraba jalan. Hanya tahu naik, naik, dan terus naik...

Pada ketinggian 5000 meter, jangankan mendaki, untuk bernafas pun susah. Langkah menjadi pendek. Beban tas ransel kosong di punggung rasanya seberat karung beras. Naik, naik, dan terus naik....

Thorung La masih 600 meter lebih tinggi dari High Camp. Pukul enam, bias-bias mentari masih tak sanggup menembus mendung. Dunia di sekeliling terbungkus putih yang merata. Semalam hujan salju deras. Dulu waktu kecil, saya pernah membayangkan, bagaimana rasanya kehidupan di balik awan sana. Hari ini, pada ketinggian 5100 meter, dua per tiga perjalanan menuju puncak, saya sudah berada di tengah awan dan kabut.

Dingin. Wajah terus ditampar terpaan angin, disiram bulir salju. Semangat dipadamkan oleh dingin dan kemuraman. Gunung-gunung di sekeliling pucat, namun perkasa. Saya tahu, di balik puncak gunung sana, ada sebuah dunia lain, yang jauh lebih ramah daripada kumpulan awan dan terjangan badai salju di sini. Otak saya sudah kosong. Yang saya tahu hanya naik, naik, dan terus naik....

Rombongan turis dengan armada lengkap: barisan keledai, porter, pemandu merangkap penterjemah, mulai beriringan melintasi kami. Mereka umumnya trekker yang sudah siap sedia, komplit dengan tongkat trekking, jaket tebal, topi bulu, sepatu bot. Sedangkan saya, backpacker kesasar yang hanya berbekal jaket almamater dan sepatu butut menggigil kedinginan di tepi jalan.

Yang lebih tangguh daripada keledai adalah para porter. Tubuh mereka nyaris tertimbun oleh tumpukan ransel para turis yang entah mengapa ke tempat seperti ini pun harus bawa barang banyak sekali. Shri Gurung misalnya, membopong beban seberat 45 kilogram, walaupun diterpa badai salju tetap naik ke puncak dengan bersiul, melantunkan lagu rakyat Resham Phiri-ri.

Naik, naik, dan terus naik....

Saya hampir roboh ketika melihat bendera doa Tibet yang berwarna-warni berkibar di puncak sana. Oi Lye sudah pucat pasi, tak mampu bicara lagi. Setiap tiga langkah, ia harus beristirahat, menyanggakan tas punggungnya yang berat di atas batu. Jörg jadi pemarah, dingin dan tipisnya udara membuatnya sangat emosional. Saya melangkah setapak demi setapak, setiap langkah diiringi tarikan dan hembusan nafas panjang.

           “Kita sudah sampai! We made it!!!” seru Jörg dengan gembira, tepat ketika kami di hadapan papan bertuliskan “Thorong La Pass – 5416 mtr – Congratulation for the Success!!! See You Again!!!”.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com