Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (135): Bukan Hari Valentine Biasa

Kompas.com - 09/02/2009, 07:59 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

 

14 Februari 2006. Matahari sudah mulai tinggi di Lahore. Tetapi tak ada hiruk pikuk klakson kendaraan di jalan raya yang biasanya selalu ruwet oleh segala macam kendaraan. Toko sepanjang jalan tutup semua. Bahkan sarapan pun susah. Ada apa ini?

Hartal,” demikian jawab pemilik penginapan tempat saya tinggal. Artinya mogok - acara mogok massal di mana semua toko-toko tutup, semua orang tak bekerja dan mengurung diri di rumah, kendaraan tidak hilir mudik, semua kantor tak beroperasi. Saya ingat hartal adalah salah satu gerakan damai Mahatma Gandhi melawan imperialisme Inggris. Hingga sekarang, acara mogok-mogokan massal ini masih sangat populer di negara-negara Asia Selatan.

“Bukan, bukan hartal,” sanggah seorang pemuda pemilik guesthouse tempat menginapnya para backpacker asing, “Kamu lupa? Hari ini kan hari Valentine. Ini hari cinta kasih di Pakistan, dan dirayakan di seluruh negeri. Kamu pergi saja ke taman kota. Di sana kamu melihat pasangan muda-mudi memadu kasih.”

Sejak kapan Pakistan merayakan hari Valentine?

Tak ayal, saya tetap melangkahkan kaki ke arah taman kota. Jalan raya Mall Road, jalan paling ramai di Lahore, hari ini tampak lengang dan sunyi. Yang bertebaran di mana-mana cuma polisi Pakistan, berseragam coklat abu-abu, membawa tongkat kayu.

Ternyata memang hartal. Di koran tersebar himbauan agar semua orang menghentikan semua aktivitas kehidupan, mendukung solidaritas Muslim memprotes kartun yang menghujat Nabi. Seluruh penjuru Republik Islam Pakistan mogok. Apakah Denmark akan peduli dengan rakyat Pakistan yang kelaparan karena acara mogok nasional ini? Saya ragu.

Seorang polisi menganjurkan saya untuk segera menuju Data Darbar, makam suci guru Sufi - Syed Abu Hassan. Di sana akan ada demonstrasi besar-besaran. “Mari, minum teh dulu,” ajak polisi itu. Saya menggeleng, ingin segera sampai ke sana. Saya merangkul polisi itu, mengucapkan terima kasih dan selamat berpisah. Tak disangka, ia malah mencuri kesempatan menjilati leher saya.

Sekelompok orang berkumpul di depan Universitas Punjab, mendengarkan orasi dan meneriakkan yel-yel. Pembicaranya berpidato sambil menangis. Pendengarnya juga tak terlalu banyak ekspresi. Demonstrasi kecil-kecilan, pikir saya.

Mendekati arah Data Darbar, semakin banyak orang berkerumun. Mereka berdatangan, rombongan demi rombongan. Sekitar 50-an orang dalam satu grup. Seratus persen laki-laki, mulai dari bocah kecil umur tujuh tahunan sampai kakek tua berjenggot putih dan bersurban. Ada yang membentangkan spanduk lebar. Yang lain membawa poster dan tulisan. Mirip sekali dengan barisan karnaval acara Agustusan. Bedanya, ini bukan perayaan penuh bahagia. Mereka semua diliput kemarahan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com