Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Raja Ampat, Terumbu Karang dan Ikan Hias

Kompas.com - 05/10/2010, 15:48 WIB

RAJA AMPAT, KOMPAS.com - Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan meminta para kepala daerah mengoptimalkan pelestarian lingkungan. Kawasan yang lestari dan indah dapat menarik minat wisatawan domestik dan asing untuk berkunjung sehingga dapat meningkatkan pendapatan asli daerah.

Zulkifli menyampaikan hal ini dalam pertemuan dengan jajaran Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan Sorong, Papua Barat, di Raja Ampat, Sabtu (2/10/2010) malam. Menhut didampingi Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Darori, Dirjen Planologi Bambang Soepijanto, dan Dirjen Bina Usaha Kehutanan Iman Santoso berkeliling Papua dan Papua Barat meninjau kawasan hutan dan konservasi.

"Keindahan bahari Raja Ampat sudah terkenal sampai ke mancanegara dan saya sudah membuktikan hal ini dengan menyelam sendiri. Bukan berarti tidak boleh memperluas wilayah (dengan perubahan status kawasan), tetapi pemda harus memerhatikan lingkungan dan mengelolanya sebagai PAD," kata Menhut.

Menurut Menhut, pemkab bisa mengajukan perluasan wilayah dengan mengusulkan perubahan status kawasan hutan produksi konversi yang ada. Walau demikian, Zulkifli menegaskan agar konversi lahan direncanakan dengan baik supaya tidak merusak lingkungan.

Kementerian Kehutanan kini tengah mempromosikan investasi wisata alam di daerah konservasi dengan peraturan pemerintah Nomor 36/2010. Izin wisata alam yang sebelumnya bertahun-tahun kini dapat diurus dalam tiga bulan saja.

Kawasan Raja Ampat kini menjadi salah satu daerah tujuan turis mancanegara yang meminati wisata bahari. Perairan yang jernih, terumbu karang yang menjadi tempat ikan berpijah, dan ikan hias yang indah menjadi daya tarik utama kawasan tersebut.

"Kalau keindahan ini rusak, yang rugi rakyat Raja Ampat sendiri. Kalau orang luar, mereka tinggal mencari tempat baru lagi untuk dikunjungi," ujar Menhut.

Sebelumnya, Bupati Raja Ampat Marcus Wanmar meminta Menhut mengubah status kawasan hutan konservasi untuk dimanfaatkan menjadi lahan pertanian dan permukiman penduduk. Sedikitnya 80 persen dari 1 juta hektar wilayah Raja Ampat merupakan cagar alam dan konservasi.

Pemkab Raja Ampat mengeluhkan status kawasan yang menyulitkan mereka membangun. Seperti pembangunan rumah sakit umum, yang sebagian bangunan berada di dalam cagar alam.

Raja Ampat berpenduduk 50.000 jiwa. Sebagian besar bekerja sebagai nelayan dan ekowisata, yang berkembang tujuh tahun terakhir. Kabupaten Raja Ampat yang lahir tahun 2003 memiliki kawasan konservasi seluas 429.462 hektar.

Menurut Marcus, perubahan kawasan mendesak dilakukan karena 80 persen wilayah mereka merupakan perairan. Raja Ampat terdiri dari empat pulau utama, yakni Salawati, Wajeo, Lisol, dan Batanta, dengan 640 pulau-pulau kecil.

Dihubungi di Jakarta, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mengungkapkan, Indonesia bisa meraih penerimaan jasa lingkungan ekowisata sedikitnya 68,44 miliar dollar AS per tahun dari kawasan konservasi dan hutan lindung seluas 54,75 juta hektar. Asumsi ini dihitung berdasarkan penghasilan rata-rata internasional atas optimalisasi penerimaan ekowisata per hektar per tahun.

"Sayang, Indonesia masih belum bisa mengoptimalkan potensi pendapatan ekowisata ini. Penerimaan dari ekowisata masih belum mencapai 6,8 miliar dollar AS saat ini," ujar Elfian.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Malang Dreamland, Wisata Keluarga Favorit dengan Pemandangan Hijau

Malang Dreamland, Wisata Keluarga Favorit dengan Pemandangan Hijau

Jalan Jalan
WSL Nias Pro 2024 Digelar, Targetkan Gaet 30.000 Wisatawan Domestik

WSL Nias Pro 2024 Digelar, Targetkan Gaet 30.000 Wisatawan Domestik

Hotel Story
Pengalaman ke Pasar Kreatif Jawa Barat, Tempat Nongkrong di Bandung

Pengalaman ke Pasar Kreatif Jawa Barat, Tempat Nongkrong di Bandung

Jalan Jalan
Libur Panjang Waisak 2024, KAI Operasikan 20 Kereta Api Tambahan

Libur Panjang Waisak 2024, KAI Operasikan 20 Kereta Api Tambahan

Travel Update
Pasar Kreatif Jawa Barat: Daya Tarik, Jam Buka, dan Tiket Masuk

Pasar Kreatif Jawa Barat: Daya Tarik, Jam Buka, dan Tiket Masuk

Travel Update
Berkunjung ke Pantai Nangasule di Sikka, NTT, Ada Taman Baca Mini

Berkunjung ke Pantai Nangasule di Sikka, NTT, Ada Taman Baca Mini

Jalan Jalan
10 Wisata Malam di Semarang, Ada yang 24 Jam

10 Wisata Malam di Semarang, Ada yang 24 Jam

Jalan Jalan
Tanggapi Larangan 'Study Tour', Menparekraf: Boleh asal Tersertifikasi

Tanggapi Larangan "Study Tour", Menparekraf: Boleh asal Tersertifikasi

Travel Update
Ada Rencana Kenaikan Biaya Visa Schengen 12 Persen per 11 Juni

Ada Rencana Kenaikan Biaya Visa Schengen 12 Persen per 11 Juni

Travel Update
Kasus Covid-19 di Singapura Naik, Tidak ada Larangan Wisata ke Indonesia

Kasus Covid-19 di Singapura Naik, Tidak ada Larangan Wisata ke Indonesia

Travel Update
Museum Kebangkitan Nasional, Saksi Bisu Semangat Pelajar STOVIA

Museum Kebangkitan Nasional, Saksi Bisu Semangat Pelajar STOVIA

Travel Update
World Water Forum 2024 Diharapkan Dorong Percepatan Target Wisatawan 2024

World Water Forum 2024 Diharapkan Dorong Percepatan Target Wisatawan 2024

Travel Update
Tebing di Bali Dikeruk untuk Bangun Hotel, Sandiaga: Dihentikan Sementara

Tebing di Bali Dikeruk untuk Bangun Hotel, Sandiaga: Dihentikan Sementara

Travel Update
Garuda Indonesia dan Singapore Airlines Kerja Sama untuk Program Frequent Flyer

Garuda Indonesia dan Singapore Airlines Kerja Sama untuk Program Frequent Flyer

Travel Update
5 Alasan Pantai Sanglen di Gunungkidul Wajib Dikunjungi

5 Alasan Pantai Sanglen di Gunungkidul Wajib Dikunjungi

Jalan Jalan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com