Di tepian Sungai Musi, pabrik es Assegaf bertahan melintasi zaman. Berdiri sejak 1929, pabrik es tua ini menjadi bagian tak terpisahkan dari mata rantai kehidupan Musi. Para nelayan tradisional yang tak mampu membeli kecanggihan zaman modern bergantung pada pabrik es itu.
Semua yang terlihat di pabrik itu memberikan kesan tua. Bangunan pabrik yang belum berubah sejak zaman Belanda. ”Jalan es” berupa talang-talang kayu menjulur puluhan meter dari mulut pabrik ke dermaga di sungai. Di ruangan dalam, lima mesin kompresor lama buatan Jepang dan dua buatan Amerika Serikat dari tahun 1920-an selalu siap. Belasan pekerja dengan gancu di tangan telah berjaga di sepanjang ”jalan es” sejak hari masih gelap.
Setiap hari, kapal-kapal kayu bermotor berbagai ukuran berdatangan ke dermaga pabrik es PT Alwi Assegaf ini sejak pukul 02.00. Minggu (31/7), belasan kapal motor kayu itu tampak mengapung tenang di air Sungai Musi yang tengah surut. Para awak kapal menanti giliran memperoleh es batu ditemani kepulan kopi di tangan.
Kapal Motor Achiat Jaya, misalnya, membeli 1,5 ton es batu untuk mengawetkan 3 ton udang dan ikan selama tiga hari berlayar hingga Selat Bangka. Beberapa kapal berukuran lebih besar membeli hingga 11 ton es untuk pelayaran yang lebih lama.
Halaman dan teras pabrik pun tak lepas dari kesibukan. Beberapa truk terlihat tengah memuat puluhan balok es di halaman, sedangkan di teras orang-orang tengah mengukir balok es. Ukiran di balok es yang dibuat pagi hari itu akan digunakan untuk pelengkap dekorasi acara di sebuah hotel di Palembang pada malam harinya.
Selama hampir 100 tahun, pabrik es PT Alwi Assegaf memasok es batu bagi para nelayan dari Sungai Musi hingga Selat Bangka. Setiap hari, sekitar 200 ton es dibuat. Dengan sistem pendinginan kimia, balok-balok es ini dapat bertahan hingga dua pekan tanpa harus dimasukkan ke mesin pendingin. Balok-balok es dibeli nelayan, pedagang ikan, atau kapal-kapal yang akan menjual kembali es batu kepada para nelayan kecil di sepanjang Sungai Musi dan Muara Sungsang di Selat Bangka.
Es batu masih menjadi kebutuhan pokok bagi para nelayan tradisional. Mereka bergantung pada es batu untuk mengawetkan hasil tangkapan selama berhari-hari berlayar. Balok-balok es ini disimpan dalam kotak kayu berlapis aluminium dan ditutup dengan sekam atau serutan kayu. ”Kalau kotaknya bagus, es bisa tahan satu sampai dua minggu. Ndak katek es batu, sulit kami melaut,” kata Amirsah (28), salah seorang awak kapal yang datang mengambil es.
Selama berpuluh tahun, para nelayan tradisional yang bermodal terbatas inilah yang menjadi pelanggan pabrik es PT Alwi Assegaf. Salah seorang pekerja, Abdul Kadir Jaelani (66), menuturkan, banyak pembeli es batu keturunan dari pelanggan-pelanggan pada masa lalu.
”Dulu saya kenal dengan bapaknya. Eh, sekarang anaknya juga beli es di sini,” kata Abdul yang juga mencari nafkah di pabrik itu selama empat generasi. Kini, anak lelakinya pun mengikuti jejaknya.
Pabrik es PT Alwi Assegaf berdiri di tengah-tengah perkampungan tua komunitas keturunan Arab Assegaf di kawasan Seberang Ulu II, Plaju, Palembang. Pendiri pabrik dan warga perkampungan itu berasal dari Hadramaut, Yaman Selatan, Habib Alwi Assegaf.