Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jemunak yang Hanya Muncul di Bulan Puasa

Kompas.com - 04/08/2012, 08:15 WIB

ROHIMAH (70) mengangkat alu yang beratnya kira-kira 8 kilogram, menumbuk singkong yang baru dikeluarkan dari kukusan. Asap panas masih mengepul. Sambil menarik sumbu singkong yang masih tertinggal, Rohimah sesekali menarik napas panjang dan kembali menumbuk demi menghasilkan sebuah penganan untuk berbuka puasa.

Suaminya, Daroji (80), memegangi lumpang dan merapikan singkong yang terlempar keluar untuk kembali ke tempatnya. Aktivitas itu berlangsung kira-kira 15 menit. Dari bongkahan singkong kukus panas yang empuk, kini wujudnya berubah menjadi adonan singkong yang liat dan padat.

”Kalau tidak ditumbuk seperti ini hasilnya beda. Pakai mesin tidak bisa sehalus ini. Paling bagus, ya, seperti getuk lindri dari Magelang itu,” kata Rohimah di kediamannya di Desa Suruh, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Rabu (1/8/2012).

Ia kemudian mengeluarkan adonan, menguleni dengan tangan yang ditutup plastik, dan membentuknya menjadi bulatan besar pipih. Adonan itu nantinya dibagi-bagi menjadi potongan-potongan kecil dan tipis, disajikan dengan taburan kelapa parut dan diberi lelehan cairan gula jawa.

”Namanya jemunak. Soalnya membuatnya jemu, tetapi makannya enak,” kata Rohimah sambil tertawa. Kudapan itu selama berpuluh-puluh tahun menjadi penganan khas yang ditunggu-tunggu ketika bulan Ramadhan. Pembuatnya pun hanya Rohimah dan suaminya.

Ia kemudian mengeluarkan singkong yang akan ditumbuk berikutnya dari kukusan, yang terbuat dari anyaman bambu, di atas tungku kayu bakar. Singkong dikukus selama dua jam dan harus segera ditumbuk dalam keadaan panas setelah dikeluarkan dari kukusan. Kalau tidak, singkong akan mengeras dan adonan tidak akan lembut.

Hingga sakit

Pekerjaan menumbuk singkong kukus menjadi adonan bukan perkara mudah bagi perempuan seusia Rohimah. Kini, nenek dari enam cucu dan satu cicit itu harus menggunakan stagen yang dibelitkan di perut agar tak sakit ketika harus mengangkat alu berkali-kali.

Suaminya sejak awal tidak pernah bisa menumbuk singkong, juga anak-anaknya. Karena itu, pekerjaan menumbuk hanya dilakukan oleh Rohimah. Karena lumpangnya tidak begitu besar, dalam sehari mereka mengolah 12,5 kilogram singkong dan Rohimah harus menumbuk enam kali untuk mendapat enam adonan berbentuk bulat pipih.

”Cara membuatnya yang sulit ini membuat tidak ada yang mau membuat. Anak-anak saya saja tidak ada yang mau membuat. Saya setiap tahun membuat jemunak karena pasti banyak yang cari untuk buka puasa,” tutur perempuan yang sehari-hari berjualan makanan di rumahnya.

Rohimah juga mengaku pernah mencoba menjual Jemunak di luar bulan Ramadhan, tetapi malah tidak laku. Berbeda ketika jemunak hadir setiap puasa, baru keluar dari rumah pukul 16.00 WIB, satu jam kemudian kudapan itu sudah ludes.

Padahal, perempuan yang awalnya hanya coba-coba membuat jumenak itu juga membuat kudapan lain, seperti kolak pisang, kue lopis, ketan yang juga ditaburi kelapa parut dan gula jawa, serta penganan berat, seperti lontong opor. Namun, jemunak memang menjadi primadona sehingga selalu menjadi yang pertama habis diserbu pembeli.

Karena itu, meskipun usia sudah lanjut dan tenaganya tak lagi seperti dulu, Rohimah tetap mengolah makanan kecil itu. ”Lagi pula cuma setahun sekali. Tadi pagi saya sempat mual-mual, saya pikir hari ini enggak akan bisa jualan. Ternyata langsung sembuh dan segar lagi,” ujarnya.

Salah seorang pembeli, Khotimah (34), warga Desa Reksosari, Kecamatan Suruh, mengaku kerap membeli jemunak di bulan puasa karena penganan itu sangat nyaman di perut. ”Setelah seharian tidak makan, perut bisa perih kalau langsung diberi makanan lain. Kalau saya makan jemunak, rasanya beda, enak di perut,” ujarnya.

Apalagi, harga kudapan itu sangat terjangkau, hanya dengan Rp 1.000-Rp 1.500, pembeli sudah mendapat potongan olahan singkong yang dibungkus daun pisang, cukup untuk mengganjal perut sebelum mengisinya dengan makanan yang lebih berat. (Amanda Putri Nugrahanti)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com