JAKARTA, KOMPAS.com - Gemulai liuk tubuh penari topeng tunggal menjadi pembuka pentas pada Sabtu (15/6/2013) malam itu. Berdurasi sekitar 10 menit, penonton dibuat terhanyut dengan ritme tarian ditambah dentuman musik yang mengiringi.
Namun ternyata tarian tersebut hanyalah pembuka. Karena setelahnya, penonton disajikan rangkaian tarian berkelas yang menampilkan satu alur cerita. Tari yang dibawakan dalam balutan dua kiblat yang berbeda yaitu dari barat dalam bentuk Hip Hop, Burlesque, dan Kontemporer serta dari timur dalam bentuk Tari Perut, baik tradisional maupun modern.
Ya, pertunjukan yang digelar malam itu adalah teatrikal tari yang mengangkat kisah Nyai Dasima. Cerita yang menjadi legenda masyarakat Betawi tersebut menyadur karya Francis Gijsbert dalam novel yang berjudul "Tjerita Njai Dasima". Pertunjukan dimainkan dengan mengambil latar Jakarta sebagai Kota Metropolitan.
Pertunjukan digelar di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) Pasar Baru tersebut merupakan rangkaian Jakarta Anniversary Festival (JAF) 2013 untuk menyambut ulang tahun Kota Jakarta yang jatuh pada 22 Juni.
Sesuai dengan latar belakang pertunjukan yakni kota Jakarta, di awal digambarkan sekelumit kehidupan masyarakat perkotaan. Bagaimana keramaian di pusat perbelanjaan seperti pasar hingga kehidupan hedonis yang menjadi bagian gaya hidup masyarakat kota.
Tentu saja, penggambaran tersebut melalui gerak para penari yang juga menjadi aktor dan aktris pada pertunjukan tersebut. Seketika riuh terdengar dari para penonton ketika pemeran utama memunculkan diri di atas pentas.
Pertunjukan Nyai Dasima. (Foto: Kompas Images/Roderick Adrian Mozes)
Nyai Dasima, diceritakan sebagai wanita cantik yang mampu menarik hati Edward William yang merupakan orang kolonial pada masa itu. Penonton dibuat terkesima dengan penampilan tunggal aktris yang berperan sebagai Dasima saat memperlihatkan kebolehan tari perutnya.
Bukan hanya sekadar tari perut, kostum yang yang dipakai oleh penari juga menjadi daya pikat tersendiri pada panggung pertunjukan. Kerlip warna kostum penari akibat terpaan sinar lampu panggung memberikan warna yang berbeda.
Konflik pada cerita dipertunjukkan saat Dasima disukai oleh seorang pemuda yaitu Samiun. Karena cintanya tak terbalas, Samiun meminta bantuan kepada Mak Buyung untuk memengaruhi alam bawah sadar Dasima.
Kemunculan Mak Buyung sempat membuat kagaduhan penonton teater yang cukup ramai mengisi kursi-kursi yang tersedia. Mak Buyung dengan balutan kostum berwarna hitam berkilauan, muncul di sela-sela para penonton kemudian bergerak maju naik ke atas panggung.
Beberapa adegan pun tersaji setelahnya. Mulai dari menceritakan kesedihan hati Edward ditinggal Dasima yang digambarkan oleh petikan gitar yang dibawakan oleh seorang penyanyi. Serta kehidupan Dasima yang akhirnya menikah dengan Samiun.
Serangkaian kisah tersebut dibawakan oleh para penari Dancewave Centre, kelompok tari modern yang berbasis di Jakarta Selatan. Para penari membawakan cerita dengan menampilkan kepiawaian mereka dengan dibalut kostum warna-warni yang menyegarkan mata penonton.
Gemerincing gelang kaki ala tarian India pun sempat terlintas menambah suasana pertunjukan. Hingga akhirnya kisah ditutup dengan kematian Dasima yang dibunuh oleh Samiun.
Pertunjukan Nyai Dasima. (Foto: Kompas Images/Roderick Adrian Mozes)
Selain pentas teatrikal Nyai Dasima, rangkaian JAF yang digelar hingga 23 Juni mendatang juga masih menampilkan berbagai pertunjukan lainnya seperti tari kontemporer, pameran lukisan hingga konser musik jazz.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.