Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hilangnya Pamor Kota Modern

Kompas.com - 02/09/2013, 12:28 WIB
DALAM sejarah bangsa Indonesia, Banten tercatat sebagai kota modern. Kota ini dikenal sebagai tempat Belanda menginjakkan kaki tahun 1596 dan tempat VOC berdiri tahun 1608. Banten merupakan pusat perkembangan agama Islam dan pusat perdagangan di Asia, terutama rempah-rempah dan keramik.

Banten kala itu sejajar dengan kota-kota besar di Asia, seperti Sakai di Jepang serta kota-kota lain di Taiwan dan Vietnam.

Kini, sisa kejayaan Banten hanya dapat disaksikan di situs Banten Lama yang merupakan bekas ibu kota Kesultanan Banten. Situs Banten Lama merupakan kawasan bekas permukiman kota bercorak Islam dan Belanda yang terletak sekitar 10 kilometer di utara Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten.

Secara administratif, kawasan Banten Lama terletak di dua wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Kasemen dan Kecamatan Karangwatu. Luasnya lebih kurang 18,5 kilometer persegi. Situs ini mencakup makam Sultan Banten dan keluarganya, Masjid Agung Banten, bekas Keraton Surosowan, Istana Kaibon, Benteng Speelwijk, Taman Air Tasik Ardi, dan Wihara Avalokitesvara.

Penelitian arkeologi yang dilakukan sejak tahun 1976 hingga 2011 mengungkap banyak hal, antara lain karakter dan keanekaragaman perkampungan di kota Banten. Banten Lama diperkirakan dihuni 12.322 penduduk, terbagi dalam 33 perkampungan.

Peneliti Banten Lama dari Pusat Arkeologi Nasional (Arkenas), Naniek Harkantiningsih, mengatakan, dari penelitian yang dilakukan diketahui pada masa itu ada pembagian kluster atau perkampungan, misalnya kampung Pakojan, Kaibon, Sukadiri, dan Kebalen. ”Nama-nama kampung itu menunjukkan karakter penghuni dan aktivitas masyarakatnya,” kata Naniek.

Dari 33 perkampungan, baru 15 perkampungan yang digali. Penggalian menunjukkan keberadaan industri gerabah di kampung Pejatran dan perbengkelan logam di Kepandean yang ditunjukkan dengan penemuan alat-alat pembuatan gerabah dan pengecoran logam. Adapun Pabean disimpulkan sebagai tempat untuk menarik pajak, gudang, dan pelabuhan. Hal itu ditunjukkan dengan penemuan bangunan bekas gudang berisi artefak keramik.

Penelitian di Jembatan Rantai menunjukkan, wilayah tersebut merupakan perkampungan industri logam sama dengan industri logam di Sukadiri. Penelitian di Pecinan menunjukkan, wilayah itu tempat permukiman orang China.

Penelitian juga menunjukkan, Banten Lama memiliki pembagian wilayah atau tata kota yang baik. Ada alun-alun untuk tempat pertemuan, Istana Kaibon sebagai tempat tinggal ibunda sultan, untuk peribadatan ada Masjid Agung Banten dan Wihara Avalokitesvara, juga ada pemakaman, dan sebagainya.

Penggalian akan dilakukan kembali pada November 2013 di Benteng Speelwijk. ”Penelitian ini untuk membuktikan tata letak ruangan dalam benteng,” kata Naniek. Penelitian dilakukan bersama tim dari Singapura dan Boston, Amerika Serikat.

Sonny Wibisono, peneliti Arkenas, yang juga aktif meneliti situs Banten Lama, mengatakan, Banten adalah kota yang memiliki peradaban tinggi. ”Salah satunya kemampuan untuk melakukan perdagangan jarak jauh, memiliki kemampuan mengatur irigasi, serta memiliki kekayaan sastra dan literasi yang mengagumkan,” kata Sonny.

Ciri sebuah kota besar yang multikultur ditunjukkan oleh adanya masjid dan wihara yang berdekatan serta pembagian pekerjaan sesuai dengan etnis.

Banten dikenal sebagai penghasil komoditas lada nomor satu. Sisa-sisa kejayaan itu dapat disaksikan di Pandeglang, Lebak, hingga Lampung yang pada masa itu masuk wilayah Banten. ”Jaringan agrobisnis lada zaman dulu bagus sekali antara petani lada dan sultan yang menjual. Naskah-naskah Belanda lama menyebutkan terdapat 198 kampung di Banten sebagai penyalur lada,” ujar Sonny.
Ancaman serius

Seiring redupnya pamor kejayaan Banten, keberadaan situs Banten Lama menghadapi ancaman serius. Hal ini akibat lemahnya pengawasan pemerintah setempat. Pengelolaan kawasan situs dikuasai kelompok masyarakat tertentu.

Pedagang kaki lima, diperkirakan mencapai 500 orang, membuka lapak di sekitar situs. Selain kumuh, hal ini membahayakan kelestarian situs.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com