Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/12/2013, 18:46 WIB
SOTO banjar, mungkin makanan khas Kalimantan Selatan yang paling dikenal banyak orang. Di balik rasa manis dan lontong sotonya yang khas itu, tersembunyi kisah panjang persuaan orang Banjar dan orang Dayak.

Sang mempelai, Anton (27) dan Rima (24), baru saja mengikuti bausung naga (naik naga), sebuah prosesi mengarak pasangan pengantin Dayak Bakumpai di Desa Bagus, Kecamatan Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Duduknya kedua pengantin di pelaminan menjadi awal dari mengalirnya beraneka suguhan.

Ada sejumlah menu lokal yang dihidangkan dalam pesta pernikahan itu, mulai dari lontong, ayam sambal merah, hingga ikan ampal pari. Di antara berderet-deret piring, terdapat sajian soto.

Potongan lontong di soto dan nasi pada sup, telur, bihun, serta irisan daging ayam sungguh serupa dengan soto banjar yang memang selalu disajikan bersama lontong. Rasa segarnya, juga gurihnya perkedel, menyejukkan terik siang di tepian Sungai Barito.

”Masakan kami memang sama dengan masakan banjar,” ujar Hairani, kerabat salah seorang mempelai, menjelaskan menu masakan yang ada. Menurut pihak keluarga, menu itu sudah berlangsung turun-temurun warisan pendahulu dan biasa dikonsumsi sampai sekarang.

Urang Banjar memang tetangga dekat masyarakat Dayak Bakumpai. Jarak antara Marabahan dan Kota Banjarmasin hanya sekitar 40 kilometer. Selain dihubungkan jalan darat yang bagus, alur Barito, yang menjadi kantong bermukim orang Dayak Bakumpai, juga bermuara ke Banjarmasin.

Rakyat sampai gubernur

Soto berlontong tak hanya hadir dalam hidangan pesta orang Dayak Bakumpai. Makanan ini kerap hadir di meja makan Yulinda Syaer Sua yang dibesarkan dalam tradisi kuliner Dayak Ngaju di Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah.

”Saya pun kerap memasak soto serupa dengan soto banjar, memakai lontong dan perkedel. Bedanya, soto masakan saya tak pakai kemiri. Kunyit yang dipakai sangat sedikit sehingga kuahnya bening. Perkedelnya, perkedel kentang,” tutur Yulinda.

Gubernur Kalimantan Tengah A Teras Narang menyebutkan, soto berlontong yang kini tersebar di Kalimantan memang berakar dari Banjar. Kendati soto banjar menjadi nama generik untuk soto berlontong, cita rasa soto di sejumlah wilayah di Kalimantan berlainan

”Istri saya juga memasak soto berlontong, tetapi tak menamainya soto banjar karena memang beda rasa. Istri saya menamainya soto Istana Isen Mulang. Sama-sama berlontong, sama-sama memakai perkedel dan sohun,” kata Teras tertawa.

Teras mengibaratkan soto berlontong seperti bahasa Banjar, yang menjadi bahasa percakapan di antara orang Dayak di sejumlah wilayah di Kalimantan. ”Saya, jika bertemu Gubernur Kalimantan Timur Awang Faruk, pasti berbahasa Banjar, apalagi jika bertemu Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin,” ujar Teras.

Teras menyebutkan, persebaran soto banjar dan bahasa Banjar ke Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur tidak lepas dari kepiawaian urang Banjar berdagang. Dulu, urang Banjar memakai kapal yang menyerupai supermarket berjalan, pergi ke pedalaman Kalimantan.

”Dari Banjar, mereka mengangkut sabun, odol, peralatan memasak, dan gula. Mereka kembali ke Banjarmasin membawa hasil bumi, seperti beras, ikan, kopra, damar, dan rotan. Itu berlangsung sejak abad ke-17, membuat persentuhan bahasa dan budaya santap antara orang Dayak dan urang Banjar,” tutur Teras.

Perdagangan

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com