MEDAN, KOMPAS.com - Pagi yang indah saat kami sampai di Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara.
Tepat di depan terminal bus yang juga bersatu dengan pasar tradisional, seorang ibu sudah menggelar dagangannya. Ada lontong dan lappet (penganan terbuat dari tepung beras, kelapa dan gula merah khas Batak).
Tujuh jam menempuh perjalanan dari Kota Medan membuat saya lapar, satu porsi lontong sayur dengan perkedel yang nikmat mengisi lambung, dan cukup mengenyangkan.
Menumpang kamar mandi sebuah hotel bertingkat tiga, kami dua rombongan jurnalis membersihkan diri bergantian.
Pukul 10.00 WIB, kami menuju Desa Sibadihon di Kecamatan Bonatua Lunasi, ke bale parsantian Ulupunguan Oppu Rugun Naipospos. Kami akan mengikuti ibadah Marari Sabtu-nya umat Parmalim.
Parmalim adalah sebutan bagi para penganut Ugamo Malim, agama leluhurnya Suku Batak. Sebutan Parmalim dinabalkan setelah Raja Sisingamangara ke XII mangkat. Sebelum pergi, dia menitahkan ajaran ini untuk diteruskan kepada Raja Mulia. Ihutan Ugamo Malim, itulah gelarnya.
Sampai hari ini sudah dua generasi Naipospos yang menggantikannya. Agama ini berpusat di Huta Tinggi tepatnya di Desa Pardomuan Nauli, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Ditandai dengan berdirinya bale pasogit yang tidak ada di daerah lain.
Untuk Provinsi Sumatera Utara, ruas (umat) Parmalim dapat ditemui di Kota Medan, Deli Serdang, Simalungun, Samosir, Toba Samosir, dan Tapanuli Utara.
"Sudah menikah apa belum?" tanya seorang perempuan bersanggul cepol, sanggul khas Batak.
Saya menjawab sudah. "Kalau sudah menikah, harus pakai ulos. Kalau belum, pakai sarung biasa saja. Nanti kalau masuk ke rumah ibadah harus melepas alas kaki, ya.." katanya sambil menyerahkan ulos dan selendang kecil yang juga terbuat dari ulos kepada saya.
Para perempuan yang datang beribadah, semuanya mengenakan kebaya, berkain dan selendang ulos. Kaum pria mengenakan jas, berkain ulos dan mengenakan tutup kepala seperti sorban.
Kalau belum menikah, kaum pria tidak mengenakan tutup kepala dan jas, sementara yang perempuan hanya mengenakan sarung biasa tanpa selendang.
Ada yang unik di bale parsantian ini. Di gang pintu masuknya, berdiri sebuah masjid, di mana masjidnya bersih dan cantik.