KOMPAS.com - Sejujurnya saya katakan menjadi seorang juru tabuh gamelan bukanlah hal yang mudah untuk dilakoni di Belgia.
Tidak gampang mencari networking agar mendapatkan tawaran manggung. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memperoleh kepercayaan.
Tidak perlu ambisius bertindak, dilakoni bagai air mengalir, tidak berorientasi dengan bayaran, dijalanin lugu saja, jujur seadanya dan menampilkan yang terbaik. Niscaya ini modal besar untuk mendapatkan tawaran berikutnya.
(BACA: Menyusuri Brugge, Kota Terindah di Belgia)
Sejak berumur 8 tahun saya mengenal suara rindik di Rumah Pegok, Sesetan, Bali di mana saya dilahirkan. Bunyi bambu yang halus dan jernih membuat saya jatuh cinta padanya.
Untuk dapat menguasai permainan rindik diperlukan waktu berbulan-bulan. Saya berlatih serius dan rajin hingga sampai menangis tersedu-sedu diajarkan oleh kakak sekalius guru saya I Made Arjana.
(BACA: Mengunjungi The Batlle of Waterloo di Belgia)
Dengan pengajaran yang keras tapi berhati lembut sesungguhnya Made Arjana membuat saya menjadi berani disiplin dan mampu menguasai tabuh rindik yang sulit sekalipun.
Barangkali itulah sebabnya, jika kita berlatih sungguh-sungguh, menjaga disiplin waktu, menjalin networking dan menampilkan yang terbaik ternyata pada akhirnya rindik menggapai sebuah titik harapan yang tidak disangka.
(BACA: Pairi Daiza, Indonesia Mini di Belgia)
Walaupun sebagai bumbu penyedap, rindik tetap menjadi pusat perhatian publik Eropa bahkan mengundang antusias tinggi.
Kenapa? Karena publik mendengar langsung asal bunyi, melihat keunikannya dan cara khas memainkannya. Banyak pengunjung menghampiri terutama anak-anak turut antre memainkan rindik.
Mereka mencoba berkali-kali dan memperoleh kesan yang sangat positif.