Malam itu, didorong rasa penasaran, saya memberanikan diri menyambangi Kilo 10, berharap dapat berbincang dengan salah seorang dari para penjaja seks tersebut.
Beruntung Susi, yang sudah lima tahun bekerja di sana, bersedia bercerita tentang keadaannya kepada saya. Isak tangisnya mewarnai perbincangan kami. Kerinduannya pada kampung halaman di Pulau Jawa dan kepada kedua anaknya, menjadi pemicu isaknya. Himpitan ekonomi, menjadi alasan ia tetap bertahan ditempat ini. Susi mengaku tertular di tempat ini. Saat ini ia sedang mengumpulkan tabungan yang cukup untuk pulang dan membuka warung di kampungnya.
Walau prihatin dengan kondisi Susi, rasa lega terbersit dalam diri saya. Sebagai seorang dokter, mencegah penularan HIV/AIDS sama pentingnya dengan penyakit itu sendiri. Saya berharap, apa yang dikatakan Susi benar adanya, sehingga setidaknya ia tidak menularkan kepada orang lain.
Saya meninggalkan Kilo 10 saat tempat tersebut mulai ramai pengunjung, dengan sejuta rasa berkecamuk dalam benak. Melihat langsung apa yang para pekerja seks komersial hadapi setiap malam, memberi ujian tersendiri bagi saya sebagai dokter.
Saya merasa selama ini cukup mampu mengesampingkan segala rasa yang muncul saat berhadapan dengan pasien di ruang praktik demi memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal. Namun sebagai seorang wanita, berada di antara para pekerja seks komersial, di wilayah kerja mereka pada malam hari, dengan pelanggan lalu lalang menggoda dan digoda para pekerja seks komersial, ternyata mempengaruhi saya.
Sejujurnya, ada sebagian dari diri saya saat itu yang menolak untuk perduli terhadap kesehatan mereka. Saya untuk sesaat merasa ini adalah pilihan mereka dan sudah seharusnya mereka mempertimbangkan risikonya. Saat itu bagi saya, menolong mereka terasa membuang-buang waktu, karena bagi saya mereka memilih untuk tetap melakukan pekerjaan ini.
Namun isak tangis Susi menahan saya yang hampir beranjak dari kamar itu. Penyesalannya yang dalam dan keluhan-keluhan yang ia sampaikan tentang kondisi tubuhnya setelah terinfeksi HIV, segera menyadarkan saya akan peran saya sebagai pemberi layanan kesehatan.
Seketika rasa sesal menyusup kalbu, diikuti rasa khawatir sejawat saya yang lain juga memiliki pikiran yang tidak mulia tadi. Bila semua dokter berpikiran seperti saya tadi, maka siapa yang akan memberikan pelayanan kesehatan bagi Susi dan teman-temannya?
Pelajaran Berharga Bernama Malaria
Malam itu, dalam perjalanan pulang dari Kilo 10, saya mendapat kabar rekan seperjalanan saya, Maulana, demamnya semakin tinggi. Sudah dua hari terakhir Maul merasa demam serta kurang enak badan. Seketika jantung saya berdebar keras mendengar kondisi Maul, ini pasti malaria. Mimpi buruk bagi pelancong, terutama di Papua yang memang daerah endemik. Padahal kami semua minum obat malaria dengan dosis pencegahan sebelum berangkat ke Papua.
Sebetulnya kami sudah sempat membawa Maul ke klinik setempat saat mulai demam, untuk pemeriksaan darah tepi. Namun diagnosa dari klinik setempat tidak menunjang diagnosa saya yang dari awal memang sudah curiga Malaria. Belakangan saya ketahui, di daerah endemis, pendatang bisa saja menunjukkan gejala klinis yang berat seperti Maul, padahal jumlah parasit yang ada di tubuhnya masih sedikit dan sulit dideteksi melalui pemeriksaan darah tepi. Selain itu, konsumsi obat malaria dosis pencegahan juga ternyata dapat mengacaukan pemeriksaan darah tepi.